Ayam Jantan dari Timur

Nando Rumahorbo
. 3 months ago
Ayam Jantan dari Timur

Dahulu kala terdapat kerajaan kembar, yaitu Gowa dan Tallo’ di pesisir bagian barat semenanjung Sulawesi Selatan. Kerajaan Gowa dan Tallo’ berkembang pesat sebagai kerajaan yang makmur, tertata, dan kuat. Kejayaannya mulai dikenal oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Pada awalnya kerajaan ini adalah satu, tetapi sang raja, Karaeng Tunatangka’lopi membagi kerajaan itu sebagai warisan kepada kedua anak laki-lakinya, yaitu Daeng Maranre dan I Mappatakang Kangsana. Pembagian itu membuat kerajaan terbagi dua. Kedua anak lelaki yang menjadi raja di masing-masing kerajaannya itu sepakat bahwa kerajaan mereka adalah kerajaan kembar dengan dua raja tetapi satu kelompok rakyat. Barang siapa yang mencoba mengadu domba mereka berdua akan mengalami hal yang merugikan diri sendiri.

Ibu kota Kerajaan Gowa terletak di Tamalate, berjarak sekitar enam kilometer dari muara Sungai Jeneberang. Mata pencaharian penduduk sehari-hari bertani. Padi tumbuh dengan subur karena terjaga dari serangan hama. Kegiatan pertanian sawah dilakukan oleh penduduk setiap hari. Sungai-sungai menjadi sumber aliran irigasi yang mencukupi keperluan sawah- sawah penduduk. Sungai Tallo’ bermuara di bagian utara Kota Makassar, Sungai Jeneberang bermuara di bagian selatan, serta sejumlah aliran sungai lain seperti Sungai Sanrabone dan Sungai Kacia. Tidak hanya padi, sayur-mayur juga menjadi tanaman pokok untuk bahan makanan dan bahan dagangan. Pohon kelapa tumbuh tertata di sekitar perkampungan. Di sela-sela rumah yang satu dengan yang lain ditanami pohon pisang. Rumpun pisang bergerombol membuat kampung itu menjadi sejuk dan hijau. Pisang kapok tumbuh di sela-sela perkampungan penduduk. Pisang kapok ada dua jenis, yaitu kapok kuning dan kapok putih.

Pohon pisang itu bertandan. Pada awalnya pohon pisang mngeluarkan bunga yang disebut jantung pisang. Buah pisang ini enak dimakan bila telah diolah. Keistimewaannya terletak pada bentuk buah yang agak gepeng dan bersegi. Karena bentuknya gepeng, ada yang menyebutnya pisang gepeng lalu dibuat pisang goreng dan dinamakan pisang epe.

Di setiap halaman rumah diwajibkan untuk ditanami pohon mangga. Jika berbuah, sebagian dimakan sebagian lagi dijual. Mereka juga menanam ubi kayu. Begitu banyaknya tanaman ubi kayu hingga berlebih dan dibuat tepung untuk dijualbelikan. Perkampungan di kerajaan tersebut aman tenteram karena kebutuhan pokok masyarakatnya terpenuhi.

Rakyat Kerajaan Gowa terkenal rajin dan sungguh- sungguh dalam bekerja. Mereka tidak hanya bertani, tetapi juga beternak kerbau, kambing, babi, ayam, dan bebek. Di sela-sela kesibukan membantu suami dan mengurus anak, perempuan- perempuan menenun kain. Hasil tenunan juga menjadi salah satu kekayaan kerajaan ini.

Sementara Kerajaan Tallo’ yang didirikan di muara Sungai Tallo’ melakukan kegiatan di laut. Perdagangan dilakukan dengan menjual ikan atau barang dagangan lain yang diperlukan masyarakat. Perahu menjadi alat transportasi. Ada beberapa macam bentuk perahu, misalnya perahu pelang, yaitu perahu yang digunakan untuk berperang. Perahu itu adalah perahu-perahu kecil yang digunakan oleh para lanun di samping kapal mereka. Perahu tersebut dibuat dari sebuah balok kayu yang dipahat sepanjang kurang lebih 10 meter, yang bergeladak, dengan dua batang cadik pada kedua sisinya.

Perahu lunas adalah sampan dari sebatang kayu besar yang ditambah papan sebelah menyebelah. Kemudian, lopi atau biseang atau pajala, yaitu perahu dagang besar dengan layar ringan, panjang, dan lancip memiliki dua tiang layar serta dua puluh sampai tiga puluh pendayung. Rakyat Tallo’ sudah membawa perahu itu menjelajahi lautan bahkan sampai ke Jawa dan Johor. Karaeng Tallo’ atau Raja Tallo’ menjadi perdana menteri yang bertugas mengatur organisasi perdagangan dan melakukan hubungan diplomasi dengan dunia luar. Politik pintu terbuka dijalankan oleh Karaeng Tallo’ untuk memikat pedagang dan pelaut di daerah sekitar Mandar, Selayar, dan Bajo, atau Portugis di Malaka dan Melayu, juga pedagang-pedagang Eropa, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Pelaut-pelaut dari Gowa-Tallo’ melakukan pelayaran niaga antara Makassar dan daerah penghasil komoditas terpenting, yaitu rempah-rempah dari Maluku, serta kayu cendana dari Timor dan Sumba.

Sementara itu, Karaeng Gowa atau Raja Gowa bertugas memperkuat angkatan bersenjata dan memimpin pertempuran darat. Di samping mengadakan pelatihan perang bagi rakyatnya, Karaeng Gowa juga mengurus administrasi dan dia telah memilih beberapa pembantunya untuk melakukan pekerjaan administrasi. Kerajaan Gowa-Tallo’ memperluas kekuasaan dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan di wilayah Sulawesi Selatan.

Pada suatu pagi, ketika cuaca di kerajaan itu sedang mendung, Karaeng Gowa termenung di istananya. Dia berpikir keras bagaimana meningkatkan kehidupan rakyatnya. Dia berpikir bagaimana mengatur pemerintahan agar kerajaan berjalan dengan baik dan semakin kuat serta jaya. Dia ingat bahwa ada kewajiban-kewajiban kerajaan taklukan untuk menyerahkan upeti kepada Kerajaan Gowa-Tallo’. Dengan upeti itu, kerajaan dapat membangun infrastruktur yang sangat diperlukan, misalnya memperbaiki irigasi, memperkuat kanal untuk bandar tempat berlabuh kapal, atau membangun benteng-benteng perlindungan dan benteng anjungan untuk melindungi kerajaan dari serangan musuh.

Karaeng Gowa dibantu oleh beberapa pejabat istana dalam melakukan pekerjaan administrasi kerajaan. Kebetulan punggawa kerajaan cakap-cakap. Urusan administrasi tercatat dengan rapi. Keluar masuknya uang dicatat, kapan tanggal masuk uang, dari mana uang itu masuk, berapa yang dikeluarkan, dan untuk apa uang itu dikeluarkan semuanya tercatat. Dia ingat, beberapa kerajaan taklukan ada yang agak susah menyerahkan upeti. Jika tidak diingatkan, mereka sengaja tidak mengirim upeti. Hal ini yang menjadi pemikiran Karaeng Gowa karena upeti adalah salah satu pemasukan kerajaan di samping pajak penduduk dari hasil tani, ternak, dan dagang. Dengan segera dipanggillah salah satu anak buahnya untuk menghadap.

“Sudahkah Bulukumba dan Selayar mengirim upeti bulan ini?” tanya Karaeng Gowa.

Setiap kerajaan taklukan memang wajib menyetorkan upeti kepada kerajaan Gowa-Tallo’ sebulan sekali. Jika tidak, akan ada denda yang harus segera mereka bayar.

“Belum, Tuanku, agaknya saya akan membawa pasukan untuk mengambilnya sendiri.”

“Baiklah, bawa juru catat kerajaan untuk membukukan upeti-upeti yang akan kita terima. Pergilah! Eh, sebentar, sebelum engkau pergi tolong panggilkan juru tulis kemari,” perintah Karaeng Gowa kembali.

“Baik, Tuanku. Saya akan ingatkan mereka untuk tidak menunda-nunda penyerahan upeti karena akan mengganggu keuangan kerajaan,” kata juru upeti.

Juru upeti segera beranjak dari hadapan Karaeng Gowa dan memanggil juru tulis untuk menghadap Karaeng Gowa.

“Juru tulis, Karaeng Gowa memintamu menghadap. Aku pamit akan ke Bulukumba dan Selayar dalam beberapa hari. Mereka lalai dalam menyerahkan upeti,” kata juru upeti kepada juru tulis.

“Ya, memang. Kita harus agak keras kepada mereka.

Berapa pasukan yang akan kamu bawa? Saya harus meminta bagian perbekalan untuk menyiapkan sarananya,” kata juru tulis.

“Dua pasukan rasanya cukup. Terima kasih untuk mengingatkan pada juru perbekalan. Segeralah menghadap Karaeng Gowa. Sepertinya ada pekerjaan penting yang harus kaulakukan. Saya akan pamit ke rumah dan menyiapkan segala hal untuk keberangkatan besok hari,” kata juru upeti. Segera dia beranjak meninggalkan juru tulis.

Ketika juru tulis telah hadir di hadapan Karaeng Gowa, segera ia diperintahkan untuk menulis surat kepada kerajaan sekutu menanyakan kabar dan situasi kerajaan. Karaeng Gowa berusaha menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan kuat lainnya, seperti Salumeko, Maros, Luwu, dan Polombangkeng. Juru tulis juga memberikan informasi yang penting.

“Tuanku, ada permohonan dari Anakhoda Bonang berasal dari Jawa dan beberapa perwakilan pedagang Melayu untuk menetap dan berdagang di Makassar. Bagaimana menurut pendapat Tuan?”

“Berikan jawaban segera bahwa mereka boleh menetap di bawah pengawasan Syahbandar I Daeng ri Mangngallekana.”

“Baik, Tuanku!”

Pagi itu cepat berlalu menjadi siang. Mendung yang tadi menggantung tiba-tiba menghilang tergantikan terik matahari yang menyengat. Pesisir pantai itu begitu panas, tetapi hati Karaeng Gowa sangatlah teduh. Berbagai persoalan berkecamuk di kepalanya. Satu per satu ia ingin menyelesaikannya. Dia berharap sebelum senja beberapa masalah dapat diatasinya. Dia berpikir bagaimana caranya mengelola manusia-manusia taklukan yang berasal dari kerajaan Siang, Suppa, dan Sidenreng. Dipanggillah Patih untuk menghadap.

“Siang, Patih! Maafkan aku. Pekerjaan ini harus segera kita lakukan agar tidak menimbulkan gejolak sosial.”

“Jika boleh hamba tahu, apa gerangan yang menjadi beban pikiran Tuan?” tanya Patih.

“Kita harus segera menempatkan penduduk wilayah taklukan. Sebaiknya mereka ditempatkan di daerah antara Pelabuhan Tallo’ dan Somba Opu,” kata Karaeng Gowa.

“Baik, Tuanku. Lalu, apa gerangan yang harus kita kerjakan?”

“Data semua penduduk dan kelompokkan keahlian mereka. Sebaiknya mereka kita tempatkan sesuai dengan keahlian dan minat mereka,” kata Karaeng Gowa.

“Baik, Tuanku. Lalu apa gerangan yang harus mereka lakukan?”

“Pilih salah satu yang dapat melatih kelompoknya untuk melakukan pekerjaan mereka selanjutnya. Aku ingin ada pandai besi, pandai emas, pembangun rumah, pembuat perahu, pembuat sumpit, pembuat senjata, pembuat gerinda, atau pembuat bata. Pilih juga beberapa orang yang kuat. Kita bisa jual mereka pada pedagang atau pemilik tanah, mereka dapat mendayung, mengangkat beban, atau bekerja di lahan pertanian.”

“Akan segera saya laksanakan perintah Tuan,” kata Patih dan segera bergegas menyiapkan anak buahnya untuk mengatur tempat dan mengelompokkan manusia-manusia taklukan itu.

Penduduk taklukan diatur sesuai dengan perintah Karaeng Gowa dan kerajaan itu berkembang dengan pesat karena rencana Karaeng Gowa terlaksana. Gowa-Tallo’ atau yang lebih dikenal sebagai Kerajaan Makassar menjadi maju dan kuat. Kerajaan Makassar terkenal sebagai pusat perniagaan dan pangkalan bagi pedagang dan pelaut Makassar. Kerajaan Makassar juga terkenal sebagai pelabuhan transit terpenting bagi komoditas rempah- rempah dan kayu cendana, serta daerah yang berlimpah dengan produk pangan (beras, sayur-mayur, buah, dan ternak), dan terkenal sebagai bandar internasional.

Kerajaan Gowa-Tallo’ mencapai puncak keemasannya pada abad XVI dan lebih populer dengan sebutan kerajaan kembar Gowa-Tallo’ atau disebut zusterstaten (kerajaan bersaudara). Raja yang berkuasa silih berganti.

Tersebutlah yang menjadi raja kerajaan adalah Sultan Malikussaid. Beliau adalah Raja Gowa XV yang bertakhta sejak 14 Juni 1639 sampai 16 November 1653. Selama memerintah ia didampingi oleh seorang Mangkubumi. Masa kejayaan Kerajaan Gowa tidak terlepas dari peran Karaeng Patingalloang, Mangkubumi Kerajaan yang mempunyai nama lengkap I Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud, putra Raja Tallo’ VII, Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Matowaya.

Hari itu kerajaan sibuk mempersiapkan pasewakan agung. Para pembantu di kerajaan itu mondar-mandir menata pendapa agung. Hari itu akan ada upacara pelantikan. I Mallombassi dan I Sani berlari-lari di antara kesibukan punggawa kerajaan. Mereka berdua adalah putra Sultan Malikussaid. I Mallombassi dilahirkan pada tanggal 12 Januari 1631. Ayahnya bernama I Manuntungi Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang bergelar Sultan Malikussaid dan ibunya bernama I Sabbe To’mo Lakuntu, Putri bangsawan Laikang adalah salah seorang istri Sultan Malikussaid. I Mallombassi mempunyai seorang saudara perempuan yang bernama I Sani.

Pada waktu itu, kedua anak begitu asyik mengamati lalu- lalang punggawa. I Mallombassi kakak dari I Sani tak tahan untuk bertanya.

“Paman, kenapa tergesa-gesa ke sana kemari? Ada apakah gerangan?” tanya I Mallombassi pada salah satu punggawa istana.

“O, Tuan. Jangan berada di situ. Jangan mengganggu dulu, kita sibuk semua!” jawab seorang punggawa sambil bergegas membawa beberapa alat.

“Kanda, kenapa punggawa seperti itu?” tanya I Sani kepada kakaknya.

“Seperti itu, maksudmu apa?” I Mallombassi balik bertanya kepada adiknya sambil tatapannya tak lepas-lepasnya kepada punggawa yang hilir-mudik di pendapa.

“Iya, maksudku, kenapa dia bilang kita tidak boleh mengganggu?” tanya I Sani kembali.

“O, biar kutanya lagi ya!” kata I Mallombassi sambil memegang tangan salah seorang punggawa yang lewat dekatnya, “Paman, ada apa sih kok orang-orang berlarian ke sana kemari.”

“Tuan, akan ada upacara agung di pendapa,” jawab punggawa itu.

“Upacara agung, maksudmu?” tanya I Mallombassi ingin tahu.

“Iya, akan ada pelantikan Tuanku Karaeng Patingalloang. Beliau dilantik menjadi Tumabbicara Butta pada hari Sabtu, tanggal 18 Juni 1639 sekarang ini. Jadi, Tuan dan Nona harus bersiap-siap berpakaian untuk menghadiri pelantikan. Ayo, segera Tuan dan Nona bergegas ke istana, pasti dicari dayang untuk mandi,” jawab punggawa itu dan dia segera pergi meninggalkan kedua anak yang akhirnya juga bergerak ke dalam istana. Sambil berjalan I Sani berkata kepada kakaknya I Mallombassi.

“Kakak, kita harus patuh kepada orang yang lebih tua dan yang kita anggap orang tua, kan?”

Kedua anak itu bergegas mencari nenek. Orang yang dicari ternyata sedang duduk di beranda belakang istana, minum secangkir teh sambil memandang halaman belakang istana. Sang nenek sedang memandangi rusa yang dilepas di halaman belakang istana. Bintik-bintik pada kulit rusa begitu cemerlang sehingga menarik perhatiannya. Beberapa rusa merumput di bawah pohon matoa dekat dengan beranda istana. Sang nenek tak puas-puasnya memandangi tingkah laku rusa yang bercengkerama dengan sesamanya sambil merumput. Tiba-tiba terdengar suara yang mengejutkannya. Ternyata itu adalah suara cucu-cucunya yang mencarinya.

“Nenek! Nenek!” teriak I Mallombassi dan I Sani bersamaan. “Hai, ke sini. Jangan berisik. Suara kalian menakutkan rusa-rusa itu. Lihatlah, mereka sampai mengangkat kepalanya tinggi-tinggi ketika mendengar suara kalian. Ada apakah gerangan sepagi ini mencari nenek?”

“Nek, akan ada pelantikan di pendapa istana. Tadi aku dan adik ke sana. Lalu punggawa istana melarang kami dan menyuruh kami untuk jangan mengganggu mereka. Lalu I Sani ingat cerita nenek tentang anak yang patuh kepada pesan orang tua. Kami ingin mendengarnya kembali, Nek!”

“Ada-ada saja kalian. Tapi janji ya, setelah cerita selesai kalian mandi dan siap-siap menghadiri upacara pelantikan,” kata sang nenek.

“Iya, kami janji, Nek!”

“Baik, dengarkan ya dan renungkan baik-baik cerita ini,” kata sang nenek. Kemudian nenek mulai bercerita.

Di sebuah desa tinggallah sebuah keluarga dengan anaknya. Pada suatu hari kedua orang tua itu memanggil anaknya. Anak itu bernama La Tinulu. Ketika anaknya sudah duduk di hadapan mereka, sang ayah berkata.

“Tinulu, Ayah dan Ibu telah membesarkanmu dengan sekuat tenaga, mendidikmu agar jadi anak yang baik, dan dapat hidup mandiri.”

“Mengapa tiba-tiba Ayah berkata seperti ini?” tanya La Tinulu.

“Ayah dan Ibu sudah beranjak tua, dan kami sudah mulai sering tidak enak badan. Kamu tahu sendiri bahwa semua orang pada akhirnya akan meninggal. Jadi, Ayah memanggilmu kali ini akan mengatakan sesuatu hal yang penting, sebelum ajal menimpa kami.”

“Masalah apakah yang akan Ayah katakan? Apakah Ayah dan Ibu mempunyai piutang terhadap orang lain?” tanya La Tinulu kepada ayahnya.

“Tidak begitu, La Tinulu. Ayah dan ibu tidak punya piutang terhadap orang lain. Ketahuilah olehmu bahwa Ayah menyimpan harta untuk bekal hidupmu. Ada tiga peti ringgit perak yang kami tanam di dekat tiang rumah ini. Uang ringgit dalam peti itu tidak boleh engkau habiskan, kecuali untuk menuntut ilmu pengetahuan.”

Tidak lama berselang, kedua orang tua La Tinulu itu meninggal dunia. La Tinulu tinggal sebatang kara. Hidupnya tanpa siapa-siapa. Pada suatu malam, saat La Tinulu sendirian merenungi nasib tanpa orang tua atau sanak saudara, teringatlah pesan kedua orang tuanya. Ia akan melaksanakan pesan kedua orang tuanya, yaitu jangan menghabiskan harta peninggalan kalau tidak untuk ilmu pengetahuan.

Keesokan harinya La Tinulu menggali harta peninggalan orang tuanya. Diambilnya beberapa genggam uang ringgit dari peti lalu dimasukkan ke dalam pundi-pundi. Kemudian peti ditutup kembali dan dikembalikan ke tempat persembunyian. Dalam pikirannya dia bertanya, “Hendak ke manakah aku membelanjakan uang ini? Siapa yang menjual ilmu pengetahuan? Ah, pasti ada karena ayah mengatakan hal itu.”

Lalu La Tinulu berangkat meninggalkan tempatnya untuk mencari ilmu pengetahuan. Perjalanannya cukup jauh. Ia menyeberangi sungai, mendaki bukit, dan beberapa desa telah dilaluinya. Di dalam perjalanan itu bertemulah dia dengan laki- laki tua yang berteduh di bawah pohon beringin di tepi jalan. La Tinulu ikut berteduh dan duduk di sebelah laki-laki tua itu.

“Hendak ke mana, Nak? Sepertinya sudah berjalan jauh?” laki-laki tua itu bertanya sambil mengulurkan tempat air kepada La Tinulu yang terlihat kehausan. La Tinulu menerima tempat air dan meminumnya sedikit, lalu dikembalikannya kepada orang tua itu.

“Terima kasih, Pak Tua, saya berjalan tak tentu arah mencari orang yang mau menjual ilmu pengetahuan.”

“Apa maksudmu? Menjual ilmu pengetahuan?” tanya Pak Tua.

“Iya, ayah saya berpesan sebelum dia meninggal bahwa jangan kaubelanjakan uangmu kecuali untuk membeli ilmu pengetahuan. Apakah Pak Tua menjual ilmu pengetahuan?” tanya La Tinulu.

“Aneh juga orang tuamu. Masa disuruh belanja ilmu pengetahuan. Tapi aku juga punya ilmu,” kata Pak Tua.

“Juallah padaku Pak Tua, ini kubawa beberapa ringgit perak untuk membelinya,” kata La Tinulu.

“Hah?! Kamu bersungguh-sungguh dengan kata-katamu?” tanya Pak Tua dengan keheranan.

“Benar Pak Tua, saya sungguh-sungguh dengan kata-kata saya.”

“Aku bersedia memberimu ilmu pengetahuan itu,” kata Pak Tua lagi.

“Baik, Pak Tua. Katakanlah padaku seperti apa ilmumu itu,” kata La Tinulu.

“Mendekatlah padaku, dengarkan baik-baik, Nak. Dengarlah, syukurilah yang sedikit agar datang yang banyak,” kata Pak Tua.

La Tinulu mendengar dengan saksama dan menyimpannya di dalam benaknya kata-kata yang diucapkan Pak Tua. Seperti janjinya, La Tinulu memberikan sebagian uang ringgit itu kepada Pak Tua yang keheranan menerima uang itu. Pak Tua menggeleng- gelengkan kepala merasa tidak mengerti akan peristiwa itu.

La Tinulu balik kembali ke rumahnya dan berhari-hari baru sampai di rumahnya. Dia camkan kata-kata Pak Tua dan direnungkannya berhari-hari. La Tinulu merasa ilmunya belum seberapa. Beberapa waktu kemudian timbul niatan untuk mencari ilmu lagi. Dia bongkar timbunan tanah di atas peti, lalu diambilnya lagi uang dan dimasukkan ke dalam pundi-pundi. Peti itu ditimbun kembali dengan sisa uang berada di dalamnya. La Tinulu kembali berjalan mencari ilmu pengetahuan. Perjalanannya hampir sama dengan perjalanan terdahulu. Kali ini ia bertemu dengan orang tua yang mempunyai janggut panjang dan rambutnya putih semua. Orang tua itu berjalan dengan bantuan sebatang tongkat. Orang tua itu bertanya kepada La Tinulu.

“Apa yang kaubawa sehingga keringatmu bercucuran?”

“Kakek, saya mau membeli ilmu pengetahuan, aku membawa uang ringgit untuk membelinya.”

“Saya mempunyai ilmu pengetahuan. Saya bersedia memberikan kepadamu.”

“Katakanlah, Kek, saya akan mendengarnya.”

“Dengarlah baik-baik! Jika kepada kita dipercayakan anak istri atau pun harta benda, jangan sekali-kali kita berniat buruk,” kata orang tua itu. Setelah itu La Tinulu menyerahkan uangnya kepada kakek tua itu, lalu La Tinulu kembali ke rumahnya.

Pada hari ketiga di rumahnya, pagi-pagi sekali La Tinulu mengambil uangnya yang masih tersisa di dalam peti, dan dimasukkannya ke dalam pundi-pundi lalu ia pergi untuk mencari ilmu pengetahuan lagi. Di dalam perjalanannya itu ia mendengar suara yang berasal dari puncak sebuah gunung. Ia pun menuju ke tempat itu dan dilihatnya seorang nenek duduk di atas batu. Orang tua itu menatapnya dan bertanya.

“Apa yang engkau bawa itu, Nak? Saya lihat, susah sekali engkau melangkah. Terlalu berat bebanmu itu.”

“Uang, Nek. Uang yang ditinggalkan orang tua saya yang harus saya gunakan untuk membeli ilmu. Saya bermaksud mencari ilmu pengetahuan,” sahut La Tinulu.

Berkata orang tua itu, “Saya mempunyai ilmu pengetahuan. Dengarkanlah baik-baik! Kalau ada seseorang yang mengharapkan kehadiran kita, jangan sekali-kali ditolak maksudnya. Jangan sekali-kali menolak maksud baik orang lain.”

“Ya, Nek. Terima kasih. Ambillah uang ini,” kata La Tinulu sambil menyerahkan semua uang yang dibawanya kepada nenek itu. Ia pun segera bergegas pulang ke rumahnya.

Walaupun La Tinulu tidak mempunyai uang lagi, ia merasa senang karena telah mempunyai ilmu pengetahuan yang akan menjadi bekal hidupnya. Dinikmati hidupnya sehari-hari dengan mengamalkan ilmu yang telah didapatnya. Hidupnya bahagia tak kurang suatu apa. Dengan ilmunya itu dia merasa telah mematuhi apa yang dipesankan kedua orang tuanya.

La Tinulu merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Ia ingin perubahan pada kehidupannya. Ia ingin menambah pengetahuan dan juga mengamalkan ilmunya di tempat lain.

Pada suatu pagi, diambillah keputusan. Dia akan pergi mengembara. Pagi-pagi sekali dia mulai berjalan meninggalkan rumahnya. Perjalanannya tanpa tujuan, hanya mengikuti gerak hati. Panas dan dingin tidak diindahkan, hujan dan terang dijalaninya juga. Di tengah jalan dia bertemu dengan seorang perempuan yang menggendong seonggok kayu di punggungnya. La Tinulu bertanya.

“Hendak dibawa ke manakah kayu dalam gendongan itu, Ibu? Begitu berat kelihatannya sampai Ibu terbungkuk-bungkuk dan susah berjalan.”

“Akan saya bawa ke kota untuk dijual,” jawab ibu itu terengah-engah dan akhirnya terduduk di tepi jalan dan badannya basah terliputi keringat yang mengucur deras.

“Kebetulan sekali, saya juga akan ke kota. Biarkanlah saya yang mendukung kayu itu.”

La Tinulu berjalan bersama-sama dengan ibu itu ke kota. Setidaknya La Tinulu punya tujuan perjalanan, yaitu ke kota. Si Ibu tertolong oleh La Tinulu untuk membawakan kayunya ke kota.

Sesampainya di kota, ibu itu membawa La Tinulu ke rumah saudagar kaya tempat biasanya si ibu menjual kayu. Setelah mendapat uang pembayaran dari saudagar, ibu itu pamit pulang ke rumahnya dan tinggallah La Tinulu duduk di depan rumah saudagar kaya. La Tinulu memperhatikan orang yang lalu lalang di jalan. Dia melihat aneka kesibukan orang di kota. Ia berpikir keras, apa yang akan dilakukan selanjutnya? Dalam pikirnya ia membuat keputusan, langkah pertama ia harus mendapat pekerjaan. Tapi apa yang akan dikerjakan di kota besar itu? Saat itu terlihat olehnya seseorang mengambil sampah yang dibuang oleh seseorang, lalu orang itu diberi uang oleh pemilik sampah. Ia lalu mengikuti apa yang dilakukan orang yang dilihatnya. Setiap pagi ia membersihkan sampah saudagar kaya tempat ibu yang diantarnya menjual kayu. Sampah itu dibawanya ke pembuangan sampah. Sebelum toko saudagar kayu itu buka, La Tinulu sudah menyapu di depan toko dan membuang sampah yang ada di sekitar toko itu. Berhari-hari ia melakukan pekerjaan itu, dan saudagar kaya melihat apa yang dilakukan La Tinulu. Pada suatu hari, saudagar kaya mendekati La Tinulu yang jongkok tidak jauh dari tokonya.

“Hai anak muda, siapa namamu? Kamu berasal dari mana dan kamu tinggal di mana?”

“Saya La Tinulu. Saya tidak mempunyai tempat tinggal. Kalau malam saya tinggal di depan toko Bapak,” jawab La Tinulu.

“Aku   melihatmu   berhari-hari    membuang    sampah dan membersihkan halaman toko. Maukah kamu menjadi pembantuku? Kamu boleh tinggal di sini. Di belakang toko ada ruangan yang dapat kamu tempati. Tugasmu menjaga toko, membersihkan halaman toko bagian depan dan halaman bagian belakang,” kata saudagar kaya itu.

La Tinulu menjadi pembantu di rumah saudagar kaya itu. Ia sering bertemu dengan ibu penjual kayu yang pernah ditolongnya. Saudagar kaya senang karena La Tinulu rajin dan tekun melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Ia diupah dan diberi makan sehari-hari. Ia dipercaya membersihkan toko seluruhnya. La Tinulu kemudian diberi tugas lagi membantu berjualan. Pada waktu itulah, La Tinulu belajar membaca dan menulis. Berkat kesabaran, kerajinan, dan kesungguhannya pandailah ia membaca dan menulis. Pekerjaannya pun semakin meningkat sampai menjadi kepercayaan saudagar kaya itu untuk menjalankan dagangannya.

Pada suatu hari, di tengah kesibukan orang belanja di toko saudagar kaya itu, terlihat barisan kerajaan di jalanan mengiringi juru wicara mengumumkan maklumat raja. Kerajaan sedang mencari seseorang yang jujur, pandai membaca, dan pandai menulis. Tulisannya bagus dan indah. Orang itu akan dijadikan juru tulis kerajaan. La Tinulu mencoba untuk melamar menjadi juru tulis kerajaan. Oleh karena tulisan La Tinulu paling baik di antara pelamar, ia dipanggil raja. Ia disuruh menulis kembali lamaran yang pernah diajukan ke kerajaan. Hasilnya benar-benar sama dengan yang ditulis sebelumnya. Pada akhirnya, ia diterima menjadi juru tulis kerajaan. Dia pulang ke rumah saudagar kaya untuk berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas segala hal yang diberikan saudagar kaya kepadanya selama ini.

“Bapak, saya sangat berterima kasih telah Bapak terima untuk tinggal di rumah Bapak. Saya mohon pamit dan mohon maaf jika ada kata atau tingkah laku saya selama tinggal di sini tidak berkenan di hati Bapak dan keluarga,” kata La Tinulu kepada saudagar kaya dan keluarganya.

“Saya justru merasa bangga, kamu mendapatkan pekerjaan menjadi juru tulis kerajaan. Kamu mengangkat derajat saya dan keluarga. Saya dan keluarga menganggapmu sebagai sanakku juga.”

Pindahlah La Tinulu ke dalam kalangan istana kerajaan. Berkat kerajinan dan kejujurannya menjalankan pekerjaan, ia sangat disenangi raja dan rakyat. Suatu ketika, raja akan pergi menunaikan haji ke Mekah. Raja memberi kuasa kepada La Tinulu untuk menjalankan pemerintahan kerajaan selama raja di tanah suci. La Tinulu melaksanakan perintah dengan sebaik-baiknya. Dia mengatur roda kehidupan penduduk kerajaan, dia juga menjaga keselamatan keluarga raja.

Keberhasilan La Tinulu dalam menjalankan tugas menimbulkan iri hati beberapa pejabat istana serta kepala pasukan raja. Apalagi La Tinulu sangat disukai oleh istri raja. La Tinulu sering diajak bercakap-cakap oleh istri raja, bahkan sering istri raja masuk ke kamar La Tinulu. Tingkah laku istri raja itu sangat meresahkan hati La Tinulu. Dia lalu membuat rencana untuk mengurung istri raja di sebuah ruangan yang dilengkapi segala keperluan untuk hidup.

Kepala pasukan raja benar-benar tidak menyukai La Timulu. Dia lalu bersiasat dengan membuat surat palsu dari raja. Surat itu diserahkan kepada La Tinulu dengan perintah La Tinulu harus mengantarkan sendiri surat itu kepada kepala penjara. La Tinulu lalu berangkat mengantarkan surat. Di tengah perjalanan, di sebuah desa ia dihentikan oleh salah satu penduduk desa.

“Singgahlah sebentar di rumah kami,” kata penduduk desa tersebut.

“Maafkan saya, sebetulnya saya sedang bertugas untuk mengantarkan surat ke kepala penjara malam ini,” jawab La Tinulu.

“Saya akan menyuruh orang lain yang mengantar surat ini. Kami memerlukan satu orang lagi untuk memulai melaksanakan kenduri. Syaratnya harus empat puluh orang, kebetulan Bapak lewat, maka benar-benar saya minta tolong untuk menggenapkan jumlah agar kenduri kampung terlaksana,” kata orang desa itu.

“Baiklah kalau begitu,” kata La Tinulu.

Maka singgahlah ia mencukupkan syarat agar maksud orang-orang desa itu terkabul. Surat yang harus sampai ke tangan kepala penjara akhirnya diantarkan oleh anak kecil suruhan salah satu penduduk desa. Anak itu dengan berlari segera mengantarkan surat itu kepada kepala penjara.

“Bapak, saya harus menyerahkan surat ini ke tangan Bapak langsung malam ini,” kata anak itu.

“Tunggu sebentar!” kata kepala penjara sambil membuka langsung surat itu dan membacanya. Kepala penjara terkejut membaca surat dari raja yang mengandung perintah untuk menghukum orang yang membawa surat itu. Kepala penjara bingung di dalam hati, untuk apa gerangan membunuh anak kecil ini. Lalu kepala penjara berkata kepada anak kecil itu.

“Nak, baiklah. Kucatat namamu. Di mana alamatmu dan siapa orang tuamu, ya?”

Anak kecil itu mengangguk dan menjawab semua pertanyaan kepala penjara. Setelah selesai menulis data yang diperlukan, anak itu diminta pulang oleh kepala penjara.

Sementara itu, La Tinulu menghadiri kenduri hingga larut malam. Setelah selesai, ia pulang ke istana. Esok harinya, dia menjalankan tugas seperti biasa. Kepala pasukan raja heran mendapati La Tinulu bekerja di ruangannya.

Tidak terasa hari bergulir dengan cepat. Raja pulang dari tanah suci. Kedatangan beliau disambut meriah oleh rakyat dan keluarga. Beberapa waktu raja beristirahat di istana untuk menghilangkan kepenatan.

Setelah raja pulih kesehatannya, dia mulai melaksanakan pemerintahan kerajaan. Kepala pasukan raja datang melaporkan bahwa sepeninggal raja keadaan negeri sangat kacau tidak terurus. Seandainya bukan dia yang mengurung istri raja di dalam ruangan, istri raja itu akan diganggu oleh La Tinulu. Raja lalu memanggil La Tinulu. Raja kemudian berkata kepadanya.

“La Tinulu, saya ingin memperoleh keterangan tentang jalannya pemerintahan sepeninggal saya.”

La Tinulu lalu memberi keterangan kepada raja, baik mengenai pemerintahan, keamanan, maupun roda kehidupan rakyat, yaitu menjaga berlangsungnya kehidupan rakyat dalam memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari yang semuanya berjalan dengan baik. Hanya ada satu yang perlu dilaporkan, yaitu istri raja terpaksa dikunci di dalam ruangan karena menjaga nama baik raja dan kuncinya tersimpan di dalam peti perbendaharaan raja. La Tinulu menjelaskan bahwa ia melakukan hal itu berdasarkan tiga hal yang menjadi pegangan hidupnya, yaitu ilmu yang diperolehnya dengan tiga peti ringgit perak warisan orang tuanya. Bertanyalah raja tentang hal itu.

“Apa gerangan yang menjadi pegangan itu?”

“Pertama, syukuri yang sedikit agar datang yang banyak. Kedua, jika dipercayakan orang anak istri atau harta benda, jangan berniat ke jalan yang buruk. Ketiga, jangan menolak maksud baik seseorang. Adapun istri baginda saya tempatkan di sebuah ruangan karena Tuanku mempercayakan anak istri Tuanku kepada hamba, untuk menjaga keselamatannya. Adapun surat Tuanku yang harus diserahkan kepada kepala penjara, bukan hamba sendiri yang menyampaikannya, karena di tengah jalan saya diharapkan oleh penduduk kampung untuk hadir di sebuah kenduri yang mereka adakan. Saya tidak boleh menolak maksud baik seseorang,” kata La Tinulu menjelaskan kepada raja.

Raja akhirnya dapat menarik kesimpulan bahwa La Tinulu difitnah oleh orang-orang yang tidak menyukai kejujuran dan keberhasilannya dalam menjalankan tugas. Raja memberikan anugerah dengan menikahkan La Tinulu dengan salah satu putrinya. Demikian cerita bagaimana seorang anak patuh pada perintah orang tua.

“Kalian harus ingat bahwa kepada orang tua, kalian harus patuh. Dengan mengikuti apa yang dikatakan orang tua, kalian akan mendapatkan suatu kebahagiaan… Ayo, sekarang I Sani dan I Mallombassi mandi dan berganti baju untuk menghadiri upacara pelantikan,” kata sang nenek mengakhiri ceritanya. Kedua cucunya itu berlari ke arah dayang yang sedang bergegas menjemputnya.

Hari itu, upacara pelantikan diadakan dengan megah di pendapa istana Kerajaan Makassar. Beberapa prajurit berbaris rapi di dalam dan di luar pendapa. Mereka mengenakan baju seragam, mengenakan songkok, sarung warna biru, dan keris. Ada sepuluh prajurit membawa tombak, mereka menggunakan baju berleher tutup dan di saku dada terdapat rantai yang menjuntai berwarna emas mengilat. Mereka menjaga pintu masuk. Di belakang raja, sepuluh pemuda berdiri dengan gagah perkasa dan dua baris bangsawan muda duduk bersila di sisi kanan raja. Beberapa bangsawan lainnya mengenakan pakaian yang membuat kelihatan perkasa. Bahan yang dikenakan terbuat dari beludru ungu kecokelatan dihiasi bunga warna emas. Raja mengenakan baju serupa dengan bahan yang lebih berkualitas. Bajunya dikancing hingga leher. Di lengannya terdapat kancing emas. Celana yang digunakan dengan bahan yang sama menutupi setengah betis kaki. Selembar sarung songket emas melingkar di pinggang. Lalu sebuah keris bertatah permata diselipkan di pinggang. Songkok di kepala raja berhiaskan benang emas dan dipakai miring ke kiri di kepala. Sementara itu, bangsawan rendah membenamkan songkok mereka ke belakang di kepala. Songkok raja itu terbuat dari serat sejenis anggrek liar dari hutan Sulawesi Tenggara yang dianyam oleh perempuan bangsawan dengan derajat tinggi. Busana adat laki-laki pada umumnya terdiri atas baju, celana atau paroci, kain sarung atau lipa garusuk, dan tutup kepala atau passapu. Baju yang dikenakan pada tubuh bagian atas berbentuk jas tutup atau jas tutu dan baju belah dada atau bella dada. Model baju yang tampak adalah berlengan panjang, leher berkerah, saku di kanan dan kiri baju, serta diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang pada leher baju. Hanya dalam hal warna dan bahan yang dipakai terdapat perbedaan di antara keduanya. Bahan untuk jas tutu biasanya tebal dan berwarna biru atau coklat tua. Adapun bahan baju bella dada tampak lebih tipis, yaitu berasal dari kain lipa sabbe atau lipa garusuk yang polos, berwarna terang dan mencolok seperti merah atau hijau. Khusus untuk tutup kepala, bahan yang biasa digunakan berasal dari kain pasapu yang terbuat dari serat daun lontar yang dianyam. Bila tutup kepala pada busana adat dihiasi dengan benang emas, masyarakat menyebutnya mbiring. Namun, jika keadaan sebaliknya atau tutup kepala tidak berhias benang emas, pasapu guru sebutannya. Biasanya, yang mengenakan pasapu guru adalah mereka yang berstatus sebagai guru. Pemakaian tutup kepala pada busana pria mempunyai makna-makna dan simbol-simbol tertentu yang melambangkan satus sosial pemakainya. Kelengkapan busana adat yang tidak pernah lupa untuk dikenakan adalah perhiasan seperti keris, gelang, selempang atau rante sembang, sapu tangan berhias atau passapu ambara, dan hiasan pada penutup kepala atau sigarak. Keris yang senantiasa digunakan adalah keris dengan kepala dan sarung yang terbuat dari emas, dikenal dengan sebutan pasattimpo atau tatarapeng. Jenis keris ini merupakan benda pusaka yang dikeramatkan oleh pemiliknya, bahkan dapat digantungi sejenis jimat yang disebut maili. Agar keris tidak mudah lepas dan tetap pada tempatnya maka diberi pengikat yang disebut talibannang. Adapun gelang yang menjadi perhiasan para pria Makassar biasanya berbentuk ular naga dan terbuat dari emas atau disebut ponto naga.

Sementara itu, busana adat wanita Makasar terdiri atas baju dan sarung atau lipa. Ada dua jenis baju yang biasa dikenakan

oleh kaum wanita, yakni baju bodo dan baju labbu dengan kekhasannya tersendiri. Baju bodo berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi samping kain dijahit, dan pada bagian atas dilubangi untuk memasukkan kepala yang sekaligus juga merupakan leher baju. Adapun baju labbu atau disebut juga baju bodo panjang, biasanya berbentuk baju kurung berlengan panjang dan ketat mulai dari siku sampai pergelangan tangan. Bahan dasar yang kerap digunakan untuk membuat baju labbu seperti itu adalah kain sutera tipis, berwarna tua dengan corak bunga-bunga. Kaum wanita dari berbagai kalangan manapun bisa mengenakan baju labbu.

Pasangan baju bodo dan baju labbu adalah kain sarung atau lipa, yang terbuat dari benang biasa atau lipa garusuk maupun kain sarung sutera atau lipa sabbe dengan warna dan corak yang beragam. Namun pada umumnya, warna dasar sarung Makassar adalah hitam, cokelat tua, atau biru tua, dengan hiasan motif kecil- kecil yang disebut corak cadii. Sama halnya dengan pria, wanita Makassar pun memakai berbagai perhiasan untuk melengkapi tampilan busana yang dikenakannya. Unsur perhiasan yang terdapat di kepala adalah mahkota (saloko), sanggul berhiaskan bunga dengan tangkainya (pinang goyang), dan anting panjang (bangkarak). Perhiasan di leher antara lain kalung berantai (geno ma`bule), kalung panjang (rantekote), dan kalung besar (geno sibatu), dan berbagai aksesori lainnya. Rambut para perempuan itu dikonde dan diberi hiasan reroncean melati yang membuat harum. Perhiasan emas seperti gelang kaki, gelang tangan, cincin, kalung, dan perhiasan rambut tampak berkilau tertimpa sinar matahari. Warna baju perempuan beraneka. Warna hijau dikenakan oleh para bangsawan. Warna putih untuk pengasuh anak bangsawan, warna kuning untuk dukun, warna jingga dipakai oleh anak perempuan berumur 10 tahun, warna oranye dipakai oleh gadis berumur 11—14 tahun, warna merah dipakai oleh perempuan berumur 17—25 tahun, warna merah muda untuk perempuan muda yang telah menikah. Warna merah tua untuk perempuan yang telah melahirkan anak pertama. Sementara, warna cokelat dikenakan untuk perempuan yang anaknya telah berkeluarga, warna ungu dipakai oleh para janda, dan warna hitam untuk orang yang sudah tua.

Warna-warna itu bermakna bagi yang mengenakannya. Jadi, tidak sembarang perempuan dapat mengenakan warna apa yang disukainya. Gadis-gadis menjadi lebih ceria dalam acara pelantikan itu. Mereka dapat melihat keindahan warna dari baju- baju yang dikenakan oleh orang lain. Upacara itu diakhiri dengan santap bersama yang menyajikan aneka makanan lezat.

Karaeng Patingalloang menggantikan kedudukan ayahnya, Karaeng Matowaya. Dia sangat bahagia dan bersyukur atas jabatan yang dipercayakan kepadanya. Ia begitu dekat dengan Sultan Malikussaid. Ia juga akrab dengan keluarga Sultan. Karaeng Patingalloang adalah putra Gowa yang kepandaian atau kecakapannya melebihi orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Pada usia 18 tahun, ia telah menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Italia, Prancis, Belanda, serta Arab. Selain itu, Karaeng Patingalloang juga mahir dalam ilmu perbintangan. Ketika itu, pemerintah Belanda melihat potensi dari Karaeng dan salah satu staf di Batavia diminta untuk menghadiahi bola dunia yang khusus dibuat di negeri Belanda sekitar tahun 1652.

Kehidupan Karaeng Pattingalloang sangat sederhana. Ia selalu ingin tahu tentang hal-hal yang berkaitan dengan ilmu. Di dalam kehidupan, kita manusia tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dari waktu ke waktu. Karaeng Patingalloang sangat senang dengan alam. Dia juga suka bersosialisasi dengan rakyat kecil. Sering sekali dia bercengkerama dengan I Sani dan I Mallombassi. Bermain dengan putra Sultan saat mereka sedang berjalan-jalan di area istana. Karaeng Patingalloang kadang-

kadang ikut mendengarkan inang pengasuh bercerita kepada I Sani dan I Mallombassi. Mereka duduk di halaman di bawah pohon trembesi di belakang istana Sultan Malikussaid.

“Ceritakan lagi tentang anak yang saudaranya banyak itu,” kata I Sani kepada inang pengasuih.

“Baik, Tuanku,” kata inang pengasuh. Lalu inang pengasuh mulai bercerita.

Tersebutlah, ada enam laki-laki bersaudara. Kedua orang tua mereka sudah meninggal. Mereka meninggalkan harta warisan sejumlah lima petak sawah. Kelima petak sawah itu menjadi rebutan enam bersaudara. Masing-masing berkeras ingin memiliki sawah. Terjadilah pertengkaran antara mereka. Sudah sehari penuh mereka bertengkar, tetapi tidak ada yang mau mengalah.

Berkatalah anak yang paling tua.

“Begini saja, kita tidak usah bertengkar, kita bertanding bicara saja. Siapa yang paling unggul, dialah yang memiliki semua sawah itu. Tidak ada gunanya kita bertengkar terus begini.”

Mereka menyetujui apa yang dikatakan anak tertua. Sesudah membicarakan cara penyelesaian itu, mereka bersepakat mengatakan bahwa anak paling tua yang memulai pertandingan. Berkatalah anak yang paling tua.

“Pada suatu hari, saya pergi ke hutan. Di dalam hutan, saya menemukan pohon yang besar sekali. Begitu besarnya, sampai saya harus memerlukan waktu sehari semalam untuk mengelilinginya.”

Mengangguk-angguklah saudaranya yang lain mendengarkannya. Berkata anak yang kedua. Ah, belum hebat itu. Ketika sedang dalam perjalanan, saya menemukan sebuah pahat yang tertancap di tanah. Pahat itu sangat panjang, ujungnya begitu tinggi sampai menyentuh langit.”

Menyahut anak yang ketiga, “Masih ada yang lebih hebat dari itu. Suatu ketika saya mendapat seekor kerbau yang sangat besar sehingga ujung tanduknya dapat dipakai main sepak raga.”

Berkatalah anak yang keempat, “Belum apa-apa itu. Saya pernah menemukan sebatang rotan yang sangat panjang sehingga dapat melingkari bumi tiga kali.”

Anak yang kelima berkata, “Masih ada yang melebihi itu. Saya pernah datang ke sebuah masjid. Ketika masuk ke masjid untuk salat Jumat dari arah timur, saya tidak dapat melihat imam di depan secara jelas karena jauh, imam terlihat seperti kuman bentuknya.”

Berkatalah yang paling bungsu, “Belum apa-apa itu. Aku pernah akan membuat gendang yang hanya sekali pukul akan mendengung terus-menerus. Dengungnya masih dapat didengar sampai sekarang.”

Mendengar ucapan si bungsu, kelima kakaknya menjadi heran. Salah satu kakaknya ada yang bertanya, “Benarkah itu?”

Si bungsu menjawab, “Benar!”

Anak tertua bertanya kepada si bungsu.

“Di mana engkau peroleh kayu untuk membuat gendang yang mendengung demikian lama?”

Jawab si bungsu, “Saya kira engkau juga yang pernah mendapatkan di hutan. Itu pohon kayu yang karena besarnya memerlukan waktu perjalanan sehari semalam untuk mengelilinginya. Kayu itulah yang akan saya buat gendang.”

Bertanya juga anak yang kedua, “Dengan apakah engkau memahat itu?”

Si bungsu menjawab, “Saya kira engkau pernah melihat pahat yang terpancang di tanah yang ujungnya sampai ke langit. Pahat itulah nanti yang akan digunakan.”

Menyahut anak yang ketiga, “Untuk membuat gendang itu, di mana engkau akan memperoleh belulang untuk membuat gendang?”

Si bungsu menjawab, “Saya kira engkau juga yang mengatakan tadi bahwa ada kerbau ujung tanduknya dapat dipakai untuk bermain sepak raga. Kerbau itulah nanti yang diambil belulangnya untuk gendang itu.”

Menyahut lagi anak yang keempat, “Di mana engkau akan memperoleh rotan untuk menggantungkannya?”

“Saya kira engkau pernah mendapat rotan yang panjangnya dapat melingkari bumi tiga kali. Rotan itulah yang digunakan untuk menggantung gendang,” jawab si bungsu.

“Karena gendang itu terlalu besar, di mana akan engkau gantung?” tanya anak yang kelima.

“Saya kira engkau mendapat masjid yang karena besarnya, sang imam yang berada di depan kalau dilihat dari pintu masuk di belakang terlihat seperti kuman. Di masjid itulah, gendang itu nanti akan digantung.”

“Apalagi yang akan kalian tanyakan. Sudah ada semua jawabannya,” kata si bungsu. Kelima kakaknya mengangguk- angguk. Lalu kelima kakaknya itu saling berbicara satu dengan yang lainnya. Akhirnya, anak yang paling tua, anak nomor satu, berkata, “Engkaulah yang dapat mengambil warisan itu. Tidak ada yang dapat memilikinya selain engkau.”

Si bungsu pada akhirnya memiliki semua warisan orang tuanya. Inang pengasuh mengakhiri ceritanya.

I Mallombassi berkata, “Inang, bagus sekali cerita itu. Aku senang mendengarnya.”

“Cerita lagi, Inang,” kata I Sani.

“Bagus ceritanya,” kata Karaeng Patingalloang tiba-tiba menimpali perkataan I Sani.

“Eh, Paman. Paman juga mendengarkan, ya?” tanya I Mallombassi.

“Iya, Paman juga senang mendengar cerita-cerita seperti itu. Jadi banyak belajar tentang kehidupan orang lain,” kata Karaeng Patingalloang.

“Maksud Paman?” tanya I Mallombassi.

“ Iya, dengan cerita itu, Tuanku, kita tahu bahwa di dalam kehidupan ini ada orang yang mempunyai anak banyak, enam orang. Lalu dari enam orang tadi kita dapat memetik pengalaman masing-masing,” jawab Karaeng Patingalloang.

“Benar, Paman,” kata I Mallombassi.

“Tuanku, ayo kita jalan-jalan mengelilingi taman ini. Saya akan menunjukkan beberapa tanaman yang ada di taman. Di tanaman itu hinggap beberapa burung yang meramaikan kehidupan ini,” kata Karaeng Patingalloang.

“Ayo I Sani, kita ikuti Paman Karaeng Patingalloang, ayo Inang. Saya juga ingin melihat burung-burung yang suka singgah di pohon-pohon yang ada di taman,” kata I Mallombassi sambil berdiri mengikuti Karaeng Patingalloang berjalan mengelilingi taman.

Karaeng Patingalloang memang menyenangi alam. Di beberapa kesempatan, dia sering berkuda ke arah pegunungan atau kadang ke arah pantai lautan. Menatapi alam dan isinya, Karaeng Patingalloang mendapatkan kekuatan dalam menghadapi hidup. Setelah selesai mengelilingi taman dan menjelaskan berbagai pohon dan binatang yang ada di taman pada I Sani dan I Mallombassi, Karaeng Patingalloang mengantarkan mereka ke istana. Lalu Karaeng Patingalloang pulang ke tempatnya.

I Sani dan I Mallombassi bersama dayang beristirahat di istana. Mereka tidur karena lelah mengelilingi taman. Setelah bangun, mereka mandi sore hari dan duduk di beranda istana bagian belakang. I Sani meminta Inang untuk bercerita lagi.

“Tuanku, hamba punya cerita lagi, dengarkan ya!” kata inang pengasuh. Kedua anak itu menyimak cerita inang pengasuh.

Pada suatu hari, demikian inang pengasuh memulai ceritanya. Di suatu tempat, bertemulah tiga orang. Satu orang buta, satu orang lagi lumpuh, dan satu orang berikutnya tuli. Pada pertemuan itu, mereka saling bercerita tentang hal yang dialaminya. Ketika mereka berbicara, hanya si Tuli yang menatapi yang lain. Tiba-tiba, orang yang tuli itu berkata, “Lebih baik kita pergi dari sini, daripada duduk saja karena dengan duduk terus kita tidak dapat menghasilkan sesuatu yang dapat digunakan untuk melanjutkan hidup kita.”

Keesokan harinya, pergilah mereka, bertiga, mengembara. Setelah beberapa saat berjalan, tiba-tiba si Lumpuh menemukan cangkul, lalu cangkul itu dibawanya pergi. Pada perjalanan selanjutnya, mereka menemukan kumbang gajah yang mengelilingi mereka sambil berbunyi. Pada mulanya, bunyi kumbang gajah itu didengar oleh si Buta, tetapi ia tidak dapat menangkapnya. Kemudian si Buta menyuruh si Tuli menangkapnya karena dialah yang dapat melihat dan mengejarnya. Selanjutnya, mereka menemukan lagi bulu ijuk dan gendang. Semua benda yang ditemukan tadi, mereka bawa. Mereka berpikir bahwa benda- benda yang ditemukan tadi adalah rezeki dari Allah. Perjalanan mereka makin lama makin jauh. Akhirnya, tibalah mereka di tengah hutan belantara. Hutan itu sangat lebat. Pohon-pohon menjulang tinggi sampai tidak tampak langit di atas pohon-pohon itu. Sambil terus berjalan, mereka menemukan pondok di tengah hutan. Rupanya penghuni pondok itu adalah manusia hutan yang suka mengambil harta benda orang yang melintasi hutan tersebut. Di dalam pondok manusia hutan itu ditemukan banyak harta benda hasil rampasan. Kebetulan manusia hutan pemilik pondok itu sedang keluar. Si Lumpuh, si Buta, dan si Tuli masuk dan naik ke pondok dengan membawa benda-benda yang ditemukan mereka sepanjang perjalanan.

Tidak berapa lama kemudian, manusia hutan itu muncul. Dia melihat tanda-tanda ada orang yang memasuki pondoknya. Manusia hutan itu berteriak meminta orang yang ada di dalam pondoknya membukakan pintu pondok. Ketiga orang yang berada di pondok bersepakat untuk menghadapi manusia hutan, mereka bersiasat. Kemudian mereka menyahuti teriakan manusia hutan.

“Aku tidak mau keluar, kamu kularang masuk ke pondok lagi. Aku ini manusia raksasa yang paling besar di dunia,” teriak mereka bertiga bersama-sama. Manusia hutan tidak percaya.

“Aku tidak percaya. Buktikan kalau kamu memang raksasa terbesar, keluarkan gigimu!” kata manusia hutan.

Si Lumpuh segera memperlihatkan cangkulnya dengan menjatuhkannya ke kolong pondok. Selanjutnya, manusia hutan menyuruh untuk memperlihatkan rambut. Si Tuli menjatuhkan ijuk yang didapatkan di perjalanan. Manusia hutan itu mulai takut dan bimbang memikirkan bagaimana manusia raksasa itu dapat masuk ke dalam pondoknya. Tiba-tiba dijatuhkannya kumbang gajah sambil berkata, “Itu adalah kutu rambutku!”

Melihat semua itu, manusia hutan makin ketakutan. Terakhir manusia hutan meminta raksasa itu batuk. Si Buta lalu memukul gendang dengan keras sehingga manusia hutan itu terkejut dan lari tanpa melihat kanan kiri. Ia lari menjauhi pondok itu dan tidak berani kembali lagi.

Ketiga orang di dalam pondok itu melihat dari lubang di dinding bahwa manusia hutan itu telah benar-benar pergi. Saat mereka tegak, tanpa sengaja kaki mereka menginjak batang besi dan ketiganya jatuh berhimpitan. Ketika mereka berusaha berdiri, tanpa sengaja kaki si Buta menginjak lutut si Lumpuh. Si Lumpuh berteriak kesakitan. Akan tetapi sesaat dia terpana karena kakinya dapat diluruskan dan dia mencoba berdiri perlahan-lahan. Si Lumpuh sembuh dan dapat melangkahkan kakinya untuk berjalan tertatih-tatih. Begitu senangnya, si Lumpuh mencoba berjalan lebih cepat, saat itu dia hampir terjatuh. Tangannya menggapai ke sana kemari dan tanpa sengaja tangannya merenggut muka si Buta, terkena matanya. Ada keajaiban, tiba-tiba si Buta dapat melihat sinar yang menyilaukan dari matanya, dan perlahan-lahan alam sekitar terlihat olehnya. Pada mulanya buram tapi lama kelamaan

jelas. Begitu gembiranya si Buta langsung melangkah ke tempat terang tanpa melihat sekitarnya. Kakinya tanpa sengaja menabrak pelipis Si Tuli yang sedang berusaha duduk. Si Tuli merasa pusing tujuh keliling dan telinganya berdenging hebat. Perlahan-lahan dengung itu melemah dan tiba-tiba si Tuli menangkap suara alam sekitar.

Ketiga orang itu terduduk diam saling menatap. Mereka mendapatkan kebahagiaan dari Allah tak terhingga. Mereka sembuh dengan jalan yang tanpa sengaja. Dalam duduk diam itu mereka bersyukur. Setelah saling menatap, ketiganya tertawa terbahak-bahak bahagia. Mereka mengumpulkan harta benda yang berada di pondok itu. Harta itu dibagi menjadi tiga. Ketiga orang itu menjadi sahabat sampai tua.

“Itu tadi yang dapat hamba ceritakan, Tuanku!”, kata inang pengasuh mengakhiri ceritanya.

Tanpa terasa hari menjelang senja. I Sani dan I Mallombassi diantar inang pengasuh masuk istana. Setelah makan malam, mereka istirahat di kamar.

Keesokan harinya, Karaeng Patingalloang sedang beristirahat dari pekerjaannya. Dia berjalan-jalan di halaman. Bertemulah ia dengan I Sani dan I Mallombassi. Mereka lalu mendekati Karaeng Patingalloang. Kedua anak Sultan itu diajak duduk di beranda depan istana. Anak-anak Sultan itu senang bercengkerama dengan Karaeng Patingalloang. Banyak cerita yang juga dapat didengarkan dari Karaeng Patingalloang.

Siang itu,   matahari   sangat   terik.   Panas   di   ruangan, sehingga Karaeng Patingalloang keluar ruangan mencari angin dan bertemulah dengan anak-anak Sultan itu. I Mallombassi berkata.

“Paman, apa yang sedang Paman lakukan di beranda ini?”

“Panas sekali udara hari ini, Tuanku. Rasanya di luar udara berangin sehingga segar di badan,” jawab Karaeng Patingalloang. “Tuan sedang memikirkan apa, sepertinya ada masalah yang akan dikatakan kepada Paman?”

“Paman, mengapa kita harus selalu mengingat nenek moyang? Apa perlunya bagi hidup kita?” I Mallombassi bertanya.

“Perlu sekali, Tuanku. Asal muasal itu harus kita ketahui, agar kita dapat menempatkan diri sesuai dengan martabat yang kita miliki.”

“Bagaimana bisa tahu asal muasal kita, Paman?” tanya I Sani.

“Jangan segan dan jangan bosan bertanya untuk tahu siapa diri kita. Jangan bosan bertanya,” jawab Karaeng Patingalloang.

“Maukah Paman bercerita untukku dan adikku, siapakah nenek moyangku?” kata I Mallombassi

“Baik, Tuanku, cobalah tatap aku,” jawab Karaeng Patingalloang sambil menggamit dagu I Mallombassi yang tertunduk. “Jangan pernah malu pada diri kita sendiri, sepanjang diri kita tidak mempunyai hal yang patut membuat kita malu.

Dengarlah!” Lalu Karaeng Patingalloang berkisah.

Pada zaman dahulu sebelum kedatangan Tomanurung, terdapatlah sebuah tempat, sebuah bukit yang indah diliputi pepohonan dan tanaman. Tempat itu adalah sebuah wilayah Kerajaan Gowa. Pada masa itu, terdapat sembilan pemerintahan otonom yang disebut Bate Selapang. Wilayah yang otonom itu adalah Tombolo, Laklung, Parang-parang, Data, Agang Jekne, Bissel, Kalling, dan Serro.

Pada awalnya, sembilan wilayah itu hidup secara damai. Mereka saling menghormati satu dengan yang lain. Kehidupan mereka berjalan dari waktu ke waktu tanpa perselisihan. Setiap keluarga mempunyai kesibukan masing-masing. Sang suami sebagai kepala keluarga pergi ke sawah pagi hari. Si istri di rumah mengurus anak. Tidak hanya itu, mereka juga mempunyai beberapa hewan ternak, yaitu sapi, kerbau, kambing, atau pun ayam. Hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan cukup untuk kebutuhan hidup. Para istri menenun setelah selesai mengurus rumah dan hasilnya juga dapat membantu ekonomi keluarga.

Kehidupan yang serba berkecukupan itu menimbulkan persaingan. Mereka saling bersaing agar kaya. Pada akhirnya, perselisihan sering terjadi. Keadaan masyarakat yang tidak tenang memengaruhi sumber kehidupan mereka. Mereka sering bertengkar hanya karena berebut air saat di sawah. Perempuan bertengkar karena anak mereka. Masyarakat benar-benar merasa tidak tenang dalam hidup. Kemarahan, iri hati, dan kecurigaan terhadap orang lain menjadikan ketidaknyamanan.

Kesembilan pemerintahan otonom itu sepakat untuk memilih seorang pemimpin di antara mereka. Pemimpin itu diharapkan dapat menghentikan perselisihan antarwarga. Pemilihan itu pun diadakan dan terpilih seorang pemimpin bergelar Paccallaya. Setelah memimpin, ternyata Paccallaya tidak dapat menghentikan sikap masyarakat yang selalu berselisih setiap hari.

Pada suatu hari, angin tiba-tiba berhenti bertiup. Daun- daun tidak bergerak sedikit pun. Suara binatang yang biasanya terdengar, pada saat itu senyap. Tidak ada ayam berkotek selesai bertelur. Kambing juga tidak mengembik, kerbau tidak menguak. Apakah yang terjadi? Tiba-tiba bumi menjadi sunyi. Anak-anak kecil yang suka merengek-rengek di sekitar ibunya, kali ini meringkuk diam di pangkuan sang ibu. Panas menyengat tanpa angin dan sunyi menyakitkan telinga. Tiba-tiba, suara menggelegar mengejutkan seluruh penduduk. Suara itu datang dari arah bukit. Orang-orang berlarian keluar dari rumah dan berbondong-bondong mendekati arah suara yang mengejutkan itu. Di atas bukit, di pepohonan rimbun dan semak belukar. Tiba- tiba, orang-orang yang berkumpul itu berteriak tertahan, mata mereka terbelalak. Di depan mereka terlihat pohon-pohon rebah dan semak-semak tercerabut membentuk lapangan terbuka. Tampak sosok di tengah-tengah lapangan itu memancarkan cahaya yang menyilaukan mata berwarna kuning keemasan. Sosok yang berada di tengah tanah terbuka itu diliputi asap. Perlahan-lahan asap itu lenyap dan sosok itu dapat dilihat dengan jelas. Seorang perempuan cantik jelita memancarkan cahaya dan menggunakan hiasan kalung berupa lempeng emas atau disebut dokoh.

“Dari mana putri itu, Paman?” tanya I Sani.

“Jangan menyela dulu adik, biarkan Paman terus bercerita,” kata I Mallombassi meminta adiknya untuk mendengarkan cerita.

Karaeng Patingalloang melanjutkan ceritanya.

Ketika terdengar ada seorang putri tiba-tiba muncul di sebuah bukit, Paccallaya dan beberapa orang mendatangi tempat itu. Mereka lalu duduk mengelilingi putri yang bercahaya itu. Kecantikan putri itu memancar dan menakjubkan.

“Adakah yang tahu, siapa putri itu dan dari mana asalnya?” Paccallaya bertanya kepada orang-orang yang duduk mengelilingi putri itu.

“Tidak tahu,” jawab salah seorang dari kerumunan orang- orang yang duduk.

Tak seorang pun yang tahu nama dan asal-usulnya. Lalu mereka sepakat menyapanya Tomanurung.

“Tomanurung, kami datang kemari untuk mengangkat engkau menjadi raja kami. Sudilah engkau menetap di negeri kami,” kata Paccallaya.

“Aku setuju dengan permintaanmu itu,” jawab Tomanurung.

Setelah permohonan mereka dikabulkan, Paccallaya bangkit dan berseru, “Sombai Karaeng Nu To Gowa (‘sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa’)!”

Akhirnya Tomanurung menjadi raja. Saat dia menjadi raja, situasi masyarakat tenang. Tidak banyak yang berselisih dan bertengkar. Masyarakat disibukkan dengan pekerjaan dan

kewajiban memberikan upeti kepada Tomanurung agar kehidupan mereka dikaruniai kecukupan.

Pada suatu hari, di tengah kehidupan masyarakat yang mulai tenang, Kerajaan Gowa kedatangan dua orang yang tidak diketahui asal-usulnya. Mereka datang di tengah perkampungan sambil membawa kelewang. Orang-orang hanya berani menatap keberadaan mereka dari jauh. Kedua orang itu duduk di tengah jalan punggung-memunggung. Paccallaya mendatangi tempat itu dan bertanya.

“Siapakah Saudara? Ada apakah Saudara datang di kerajaan kami, dan apa tujuan Saudara datang?”

“Aku diturunkan dewata untuk membantu kalian. Namaku Karaeng Bayo dan ini temanku Lakipadada,” jawab orang itu.

Paccallaya dan yang lain lalu duduk menghormat. Kemudian pelan-pelan mengundurkan diri dari depan kedua orang itu. Orang itu masih duduk di tengah jalan.

Paccallaya lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan wisma bagi kedua orang itu. Setelah memberi perintah, Paccallaya kembali menuju ke tempat kedua orang itu dan ternyata mereka masih tetap duduk di tengah jalan punggung- memunggung. Paccallaya menghormat dan berkata.

“Silakan tuanku beristirahat. Kami telah menyiapkan tempat untuk beristirahat.”

“Baiklah, aku ingin mandi. Setelah itu kita berbincang.

Ayo kita bersama-sama ke tempat itu dan tunggu saya mandi, kemudian kita berbincang,” jawab orang itu lalu berdiri dan melangkah menuju Paccallaya. Lalu dibawalah mereka ke wisma tempat untuk istirahat.

Setelah beberapa saat, Paccallaya akhirnya berbincang dengan orang itu.

“Saya ingin membantu para prajurit dalam berlatih. Mulai besok saya akan melatih mereka dalam olah keprajuritan. Saya juga akan menghadap rajamu untuk melaporkan apa yang harus saya kerjakan,” kata Karaeng Bayo kepada Paccallaya.

“Baiklah, Tuanku. Saya akan menghadap Tuanku Putri untuk menceritakan hal ini,” jawab Paccallaya.

“Biar Lakipadada membantu para petani menyempurnakan irigasi di perkampungan dan memperbaiki jalan-jalan yang ada,’ kata Karaeng Bayo kembali.

“Baik, Tuanku,” kata Paccallaya.

Lalu Paccallaya dan Karaeng Bayo terus berbincang tentang bagaimana memajukan kehidupan rakyat Gowa. Menjelang sore, Paccallaya mengundurkan diri untuk mempersiapkan pertemuan dengan raja. Paccallaya bergegas menuju istana dan minta izin ke pengawal untuk menghadap raja.

“Sampaikan ke Tuan Putri saya harus menghadap sekarang,” kata Paccallaya kepada pengawal.

“Baik Tuanku, tunggu sebentar akan saya sampaikan permintaan Tuanku.” Pengawal kerajaan itu bergegas menuju ke dalam istana.

Saat itu Tomanurung sedang bersama para dayang istana di serambi istana samping. Tomanurung sedang merenung bagaimana caranya memperkuat kerajaan dan bagaimana caranya memajukan kerajaan. Tiba-tiba datang pengawal istana.

“Tuanku, maafkan hamba mengganggu kesenanganmu. Ada Tuan Paccallaya meminta menghadap sekarang juga kepada Tuanku. Sepertinya ada hal yang sangat penting yang harus disampaikan kepada Tuanku.”

“Apakah tidak bisa besok, pengawal? Tapi mungkin Paccallaya memang harus menyampaikan hal yang penting padaku. Biasanya tidak pernah dia seperti ini. Baiklah, pengawal. Katakan aku bersedia menerima di ruang kerjaku. Aku akan bersiap-siap,” kata Tomanurung.

“Baik, Tuanku. Saya undur diri,” kata pengawal bergegas untuk menyampaikan berita kepada Paccallaya.

Tomanurung meminta dayang untuk menyiapkan pakaiannya untuk penghadapan di ruang kerja dan para dayang segera sibuk mempersiapkan permintaan Tomanurung.

Ketika Paccallaya menghadap Tomanurung, segala peristiwa yang telah terjadi disampaikan oleh Paccallaya.

“Tuanku, siang tadi tiba-tiba penduduk kerajaan dikejutkan oleh munculnya dua orang laki-laki yang tiba-tiba duduk di tengah jalan kerajaan sambil membawa kelewang. Mereka duduk punggung-memunggung di tengah jalan dan diam membatu. Penduduk di daerah itu tidak berani mendekat dan hanya menatap dari kejauhan. Ketika saya datang, saya juga agak gentar. Lalu saya tanyakan apa keperluan dan siapa mereka. Mereka menjawab bahwa mereka diturunkan dewata untuk membantu kerajaan ini. Lalu saya tempatkan mereka di wisma kerajaan. Mereka minta izin dan minta waktu bertemu dengan Paduka Tuanku,” kata Paccallaya.

“Menurutmu, sebaiknya bagaimana? Kamu sendiri tahu aku belum pernah berhubungan dengan orang asing selain kamu dan pengawal-pengawalku,” kata Tomanurung.

“Maafkan hamba, Tuanku Putri. Jika hamba boleh usul dan ini juga akan saya bincangkan dengan beberapa pejabat istana yang lain, bagaimana kalau orang itu diperjodohkan dengan Tuanku. Saya percaya dia datang dari dewa dan saya mengetahui kemampuan pemikirannya,” kata Paccallaya.

“Jika menurutmu itu yang terbaik Paccallaya, tetapi bincangkan dulu hal ini matang-matang dengan pejabat istana yang lain. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari,” jawab Tomanurung.

“Baik, Tuanku. Izinkanlah saya mengatur semua ini. Saya akan kumpulkan pejabat-pejabat istana kerajaan Gowa yang lain untuk memutuskan hal ini. Kalau begitu saya undur diri untuk mempersiapkan hal ini,” kata Paccallaya.

“Silakan atur agar semuanya berjalan baik,” jawab Tomanurung lalu berdiri dan masuk ke istana diikuti oleh dayang- dayangnya. Paccallaya membungkuk memberi penghormatan dan kemudian bergegas keluar menjalankan rencananya.

Malam itu Paccallaya mengumpulkan beberapa orang sesama pemimpin untuk membicarakan rencananya. Mereka semua setuju pada rencana Paccallaya dan mereka memutuskan Paccallaya yang menjadi duta penghubung kepada Karaeng Bayo. Malam itu sebuah rencana selesai tersusun dan tinggal melaksanakan esok hari.

Keesokan paginya, Paccallaya menemui Karaeng Bayo di wisma kerajaan. Paccallaya mengutarakan maksud mereka untuk memberi tahu Karaeng Bayo bahwa raja mereka Tomanurung belum bersuami. Mereka menyarankan agar Karaeng Bayo dan Tomanurung menikah agar keturunan mereka dapat melanjutkan pemerintahan kerajaan Gowa. Karaeng Bayo terkejut mendengar rencana itu. Semula ia tidak berpikir bahwa ia akan menikahi raja Gowa. Paccallaya membujuknya berulang kali sehingga akhirnya Karaeng Bayo setuju untuk menikah dengan Tomanurung.

Paccallaya dan jajaran pimpinan Kerajaan Gowa membuat semacam kesepakatan dengan Karaeng Bayo. Intinya mengatur hak pemerintahan. Jadi, hak, wewenang, dan kewajiban orang yang memerintah dan diperintah diatur dengan kesepakatan bersama. Karaeng Bayo menikah dengan Tomanurung. Mereka dikaruniai anak bernama Tumassalangga Baraya.

Pusat kerajaan Gowa berada di atas bukit Takka’bassia yang kemudian berubah namanya menjadi Tamalate. Kerajaan

Gowa terbagi menjadi Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo’. Demikian riwayat nenek moyang I Mallombassi yang diceritakan oleh Karaeng Patingalloang.

”Kuharapkan Tuanku ingat cerita ini. Cerita asal nenek moyang Kerajaan Gowa,” kata Karaeng Patingalloang.

“Iya, Paman. Silsilah itu menjelaskan bagaimana Kerajaan Gowa ini berada,” jawab I Mallombassi. Karaeng Patingalloang melanjutkan ceritanya.

Dituturkan bahwa raja Gowa berikutnya bernama Daeng Maatanre Karaeng Manguntungi. Raja ini menyatukan dua kerajaan, yaitu kerajaan Gowa dan kerajaan Tallo’. Daeng Maatanre menjadi raja gabungan dan Raja Tallo’ menjadi Mangkubumi.

Gabungan Gowa-Tallo’ sering disebut sebagai Kerajaan Makassar. Pada tahun 1525 dibangunlah benteng Somba Opu dari tanah liat. Di dalam benteng tersebut dibangun istana kerajaan. Perdagangan begitu maju. Kemajuan kerajaan sangat pesat. Raja mengangkat syahbandar pada tahun 1538, yaitu Daeng Pammate. Ibu kota kerajaan berada di Kota Raja Somba Opu.

Pada masa Alauddin, banyak rakyat kerajaan Gowa memeluk agama Islam. Raja Gowa bergelar sultan. Sultan Alauddin tetap mempertahankan hubungan baik dengan penganut agama Kristen. Orang-orang Portugis berhubungan baik dengan Sultan Alauddin. Beliau mengatakan kepada orang asing bahwa, “negeriku terbuka bagi semua bangsa. Apa yang saya miliki dapat kau peroleh sebagaimana yang diperoleh orang lain.” Ketika Belanda menyatakan bahwa yang diperbolehkan tinggal di Makassar hanya Belanda, Alauddin menolak keras.

“Tuanku, Sultan Alauddin berkata bahwa Tuhan menciptakan tanah dan laut untuk seluruh manusia. Tak pernah saya mendengar larangan mengarungi lautan itu bagi siapa saja. Ingat itu Tuanku I Mallombassi,” kata Karaeng Patingalloang mengakhiri ceritanya.

Perang pertama dengan Belanda terjadi pada saat I Mallombassi berumur 3 tahun, pada saat Sultan Alauddin masih berkuasa. Tahun 1631 sampai 1634 armada Gowa dan Ternate saling serang dengan armada Belanda di perairan Maluku. Tahun 1634 Raja Gowa mengirim armada terdiri atas 100 perahu perang ke Ambon membantu rakyat Ambon melawan Belanda yang memusnahkan pohon-pohon cengkih dan pala di Maluku. Raja Gowa berkewajiban melindungi kerajaan sekutunya di Ambon. Perang itu dikenal dengan nama perang Hongi. Setahun sesudah itu, Belanda mengirim 12 kapal ke perairan Makassar dan memulai menembaki Benteng Galesong. Untunglah setahun sebelumnya, benteng yang terbuat dari tanah liat itu sudah diubah dan dibuat dari batu bata, sedangkan perahu dan kapal perang armada Gowa sudah meninggalkan perairan Makassar sebagai taktik untuk menghindari bentrokan. Serangan Belanda ini gagal total.

Keinginan Kompeni Belanda untuk menguasai dan menaklukkan Gowa semakin kuat. Berbagai cara dipergunakan. Pada bulan Juni 1637 Kompeni Belanda yang dipimpin Gubernur

Jendral Anthony Van Diemen berhasil membuat perjanjian dengan Kerajaan Gowa. Van Diemen meminta agar Raja Gowa melarang Portugis dan Inggris berdagang di Makassar, tetapi permintaan itu ditolak oleh Sultan Alauddin. Orang Belanda belum dibebaskan untuk tinggal dan menetap di Makassar. Pada waktu itu Raja Gowa menerima tamu-tamu asing di istananya yang terdapat di dalam Benteng Somba Opu.

Pengepungan beberapa kali oleh kompeni Belanda terhadap pantai Makassar menambah keyakinan bahwa kompeni Belanda pada suatu saat akan menyerbu dan melaksanakan niatnya untuk merebut dan menaklukkan kerajaan Gowa. Kompeni Belanda memang ingin memonopoli perdagangan rempah dari Maluku.

Cerita itu begitu mengesankan bagi kedua anak Sultan Malikussaid. Beberapa lama mereka terdiam merenungkan cerita. I Mallombassi selalu mencerna cerita, baik dari inang pengasuh maupun dari Karaeng Patingalloang. Dia mengingat setiap cerita dan dia akhirnya mengetahui bahwa setelah Sultan Alauddin meninggal dunia, beliau digantikan oleh anaknya, yaitu Sultan Malikussaid yang menjadi Raja Gowa XV. Sultan Malikussaid adalah ayah dari I Mallombassi.

I Mallombassi begitu bangga pada ayahnya. Ayahnya dibantu oleh orang yang cakap dan baik hati, yaitu Mangkubumi Karaeng Patingalloang. Beliau dengan Sultan Malikussaid berkongsi dagang dengan pengusaha besar Pedero La Matta, konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu. Selain itu, Sultan Malikussaid juga bekerja sama dengan seorang pelaut ulung Portugis bernama Fransisco Viera. Juga dengan Figheiro untuk berdagang.

Karaeng Patingalloang berhasil mengembangkan dan meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di Kota Raja Somba Opu banyak diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India, kayu Cendana Timor, rempah- rempah Maluku, dan intan berlian Borneo. Para pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan yang diberikan kepada pembesar dan bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke tempat asalnya. Karaeng Patingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya, jawabnya adalah buku. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Karaeng Pattilangoang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa. Karaeng Patingalloang adalah sosok cendekiawan yang dimiliki oleh kerajaan yang dinamai Makassar itu.

I Mallombassi begitu bangga pada Karaeng Pattollangoang. Ketika I Mallombassi semakin dewasa ia mengetahui ada seorang penyair Belanda yang memuji kecendekiawanan Karaeng Pattillangoang.

“Paman hebat, orang Belanda itu mengagumi Paman,” kata I Mallombassi pada suatu ketika kepada Karaeng Patingalloang.

“Namanya Joost van den Vondel, Tuanku,” kata Karaeng Patingalloang.

“Iya, saya hapal syair yang dibuatnya “Wiens aldoor snuffelende brein, Een gansche wereit valt te klein”. Yang artinya,

orang yang pikirannya selalu dan selalu terus-menerus mencari sesuatu, sehingga seluruh dunia sempit baginya,” kata I Mallombassi.

Setiap saat I Mallombassi berbincang dengan Karaeng Patingalloang tentang berbagai hal. Ia juga mengikuti ke mana pun Karaeng Patingalloang. Ayahnya, Sultan Malikussaid juga memberi contoh yang baik tentang kehidupan kepada I Mallombassi. Setiap hari Sultan Malikussaid melaksanakan salat berjamaah dengan putranya itu. Lima waktu dalam satu hari digunakan untuk salat. Sultan Malikussaid juga memberi contoh bersedekah kepada orang yang kekurangan.

Karaeng Patingalloang bersama dengan Sultan Malikussaid melanjutkan cita-cita Sultan Alauddin, yaitu melawan monopoli perdagangan Belanda. Makassar tidak mengakui larangan dagang yang ditetapkan Belanda. Bersama dengan Ternate, Makassar menyerang pertahanan Belanda di Maluku. Pada tahun 1634, Sultan Malikussaid dan Karaeng Patingalloang membantu pemberontakan Ambon. Warga Kristen dan Islam bersama-sama melawan Belanda.

Terjadilah peristiwa pada suatu hari. Ayah I Mallombassi, Sultan Malikussaid mangkat. Hari itu tanggal 5 November 1653. Sangat sedih hati I Mallombassi. Ayahnya adalah anutan dalam hidupnya. Para pembesar istana, para bangsawan, para penasihat, dan permaisuri Sultan Malikussaid mengadakan musyawarah untuk mencari pengganti Sultan. Hasil musyawarah menyatakan bahwa dengan suara bulat I Mallombassi diangkat menggantikan Sultan Malikussaid. Ia bergelar Sultan Hasanuddin.

Pada saat   kelahiran   dan   masa   kecil   I   Mallombassi, ayahnya belum menjadi raja Gowa. Sejak kecil I Mallombassi telah menunjukkan kelebihannya dari saudara-saudaranya yang lain. Kecerdasan dan kerajinannya dalam belajar sangat menonjol. Walaupun I Mallombassi putra bangsawan, pada masa kecilnya sangat rendah hati dan perbuatannya selalu jujur. Dia sangat disayangi karena sifatnya itu. Dia dimasukkan ayahnya untuk belajar di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Mesjid Bontoala. Tempat pendidikan itu telah membentuk I Mallombassi menjadi pemuda yang beragama dan memiliki semangat perjuangan.

Pada umur 8 tahun, Sultan Alauddin, kakek dari I Mallombassi mangkat. Beliau telah memerintah selama hampir 46 tahun lamanya. I Mallombassi merasa sangat sedih. Setelah kakeknya meninggal, ayahnya menggantikannya sebagai raja dan menjadi raja Gowa XV. Beliau dilantik pada tanggal 15 Juni 1639. Masa remaja I Malllombassi diisi dengan kesibukan belajar dan bergaul dengan kawan-kawannya dan juga dengan putra-putra raja Bone yang waktu itu menjadi tawanan Kerajaan Gowa.

Pada usia 16 tahun I Mallombassi kerap kali hadir menyertai ayahnya dalam perundingan-perundingan penting. Dalam kesempatan itulah I Mallombassi mulai belajar ilmu pemerintahan, diplomasi, dan ilmu perang. Kecakapan dalam bidang ini sudah menonjol. I Mallombassi juga banyak mendapat bimbingan dari ayahnya serta Mangkubumi Kerajaan Gowa Karaeng Patingalloang, tokoh yang paling berpengaruh dan cerdas. Pergaulan I Mallombassi tidak hanya dalam lingkungan bangsawan istana dan rakyatnya, tetapi meluas kepada orang asing, Melayu, bangsa Portugis dan Inggris yang pada saat itu banyak berkunjung ke Makassar untuk berdagang.

Pada usia 20 tahun, I Mallombassi beberapa kali menjadi utusan mewakili ayahnya mengunjungi kerajaan Nusantara yang bersahabat dengan kerajaan Gowa. I Mallombassi membawa titah raja yang tak lain adalah ayahnya sendiri untuk mempersatukan Nusantara.

Menjelang berumur 21 tahun, I Mallombassi Hasanuddin dipercaya untuk menjabat urusan Pertahanan Kerajaan Gowa dan banyak membantu ayahnya mengatur pertahanan guna menangkis serangan Belanda yang saat itu mulai dilancarkan. Saat berperang melawan Belanda, I Mallombassi membantu ayahnya, Sultan Malikussaid. I Mallombassi mempunyai tanggung jawab yang besar. Ia dididik ayahnya untuk mandiri. I Mallombassi ahli dalam bidang keprajuritan. Ia juga pintar dalam berdiplomasi. Mungkin kemahiran berdiplomasi itu terinspirasi dari berbagai cerita yang pernah didengarnya sejak kecil hingga dewasa.

I Mallombassi bukanlah putra mahkota yang mutlak menjadi pewaris kerajaan. Apalagi derajat kebangsawanan ibunya lebih rendah daripada ayahnya. I Mallombassi diangkat menjadi raja karena adanya pesan dari ayahnya sebelum wafat. Mangkubumi Kerajaan Karaeng Patingalloang juga mendukung keputusan almarhum Raja Gowa Malikussaid. Dukungan itu diberikan karena sifat-sifat I Mallombassi yang tegas dan berani. Kemampuan serta pengetahuan I Mallombassi sangat luas dan menonjol daripada saudaranya yang lain. Kerajaan Gowa memang memerlukan raja yang berani serta bijaksana menghadapi perang dengan penjajah Belanda.

I Mallombassi Daeng Mattawang dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-16 dengan gelar Sultan Hasanuddin pada bulan November 1653 menggantikan ayahnya. Saat itu beliau berusia 22 tahun. Dua tahun setelah dinobatkan, Sultan Hasanuddin kemudian menikahi I Bate Daeng Tommi atau I Lo’mo Tombong Karaeng Pabineang dan menjadi permaisurinya. I Bate Daeng Tommi adalah putri Mangngada’ Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Patingalloang Mangkubumi Kerajaan Gowa. Sedangkan, adiknya, I Sani atau I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne telah menikah terlebih dahulu dengan Sultan Bima, Ambela Abul Chair Sirajuddin pada tanggal 13 April 1646. Dari pernikahan itu, I Sani mendapatkan anak yang bernama Sultan Nuruddin yang pada akhirnya menjadi Sultan Bima ke-III pada tahun 1651.

Sultan Hasanuddin meneruskan perjuangan ayahnya melawan Kompeni Belanda. Pada waktu itu Sultan Malikussaid, ayah dari Sultan Hasanuddin, terkenal sebagai seorang raja yang berani, bijaksana, hormat kepada orang tua, tahu membalas budi, serta tidak membeda-bedakan antara bangsawan dan orang kebanyakan. Pandai bergaul dengan sesama raja dan dipuji sebagai orang yang memperlakukan rakyatnya sebagai manusia. Dia bersahabat dengan Gubernur Spanyol di Manila, Raja Muda Portugis di Goa India, Presiden di Keling (Koromandel India), Saudagar di Masulipatan (India). Bersahabat juga dengan Raja Inggris, Raja Portugal, Raja Kastilia (Spanyol), dan dengan Mufti di Mekah. Mufti inilah yang mula-mula memberi gelar “Sultan Muhammad Said” yang nama Arabnya adalah Malikussaid.

Sultan Hasanuddin waktu itu telah sering menjadi duta dan mengurus pertahanan Kerajaan Gowa. Dengan dukungan Karaeng Patingalloang Mangkubumi Kerajaan Gowa, benteng di sepanjang pantai diperkuat pertahanannya. Ada tiga 3 benteng yang diperkuat dan dipasangi meriam. Benteng Somba Opu yang menjadi pertahanan utama, dan menjadi kediaman Sultan, tebalnya 12 kaki. Benteng ini dipasangi meriam besar yang dijuluki “Anak Mangkasara” dan ada lebih 270 meriam-meriam kecil lainnya. Meriam “Anak Mangkasara” ini dibuat pada tahun 1593 dengan panjang 3 meter dan garis tengah lubang mulutnya 41,5cm serta beratnya 500kg (11.000 Pound).

Selama perang antara Gowa dan Belanda berlangsung, tahun-tahun berikutnya Sultan Hasanuddin kemudian membangun lagi benteng Mariso, Anak Gowa, dan Kale Gowa serta beberapa benteng lagi di daerah Bantaeng dan juga sebuah parit yang panjangnya 3 setengah kilometer antara Binanga Beru dan Ujung Tanah.

Benteng yang memperkuat Pantai Kota Makassar itu berjajar dari utara keselatan: Tallo (Mangngara’ Bombang), Benteng Ujungpandang atau Ford Rotterdam, Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong. Antara Tallo dan Ujungpandang terdapat Benteng kecil Ujung Tanah, antara Benteng   Ujungpandang dan Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong terdapat benteng kecil Panakkukang, yaitu sebuah kastil kecil tempat raja beristirahat.

Benteng Somba Opu, sebagai tempat kediaman raja, dilindungi pula oleh sebuah benteng besar di sebelah timurnya yang bernama Anak Gowa, sedangkan di sebelah timur benteng Anak Gowa terdapat benteng Tamalate (Het Ringmuur Van Gowa).

Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa memiliki kewajiban untuk kerajaan sahabat-sahabat bawahannya, mulai dari sepanjang pesisir Pulau Sulawesi sampai Maluku. Satu-satunya halangan Belanda untuk menguasai perdagangan di Maluku adalah Kerajaan Gowa dan armadanya. Selama lebih dari 200 tahun kedua armada ini telah saling menyerang. Belanda memiliki kapal dan perlengkapan perang yang baik, sedangkan laskar dan pelaut armada Kerajaan Gowa memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak takut mati. Ini karena budaya siri’ na pace telah berakar di hati sanubari para pejuang Kerajaan Gowa dan aru atau sumpah setia para prajurit Kerajaan Gowa.

Tahun 1645 adalah tahun yang penuh cobaan bagi Sultan Hasanuddin. Belum cukup setahun menduduki takhta, Mangkubumi yang berani dan bijaksana I Mangngada’ Cinna Karaeng Patingalloang wafat. Cobaan ini tidaklah menyurutkan tekad Sultan Hasanuddin. Karaeng Karunrung Putra Karaeng Patingalloang naik menggantikan ayahnya sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa.

Peperangan dengan Belanda tetap berlangsung. Perang dua hari dengan pasukan Belanda pada April 1655 di Buton dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Benteng pertahanan Kompeni Belanda di Buton berhasil direbut dan 35 orang Belanda terbunuh dalam peperangan itu. Belanda menyadari bahwa perang dengan Sultan Hasanuddin telah menelan biaya dan kerugian yang besar sehingga diutuslah duta ke Somba Opu mewakili Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Utusan itu bernama Willem Van der Beek dan menghasilkan perjanjian tanggal 28 Desember 1655 yang berisi: “Pasukan Makassar yang berada di Maluku ditarik kembali dan tukar-menukar tawanan perang. Belanda berjanji, bila Kerajaan Gowa berperang dengan salah satu bangsa maka kompeni Belanda tidak boleh ikut campur. Musuh Belanda bukanlah musuh Kerajaan Gowa”.

Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1657, Belanda mengutus lagi Willem Bastingh karena tidak senang melihat perdagangan antara Hitu, Seram, dan Makassar berjalan lancar. Belanda tetap ingin memonopoli perdagangan. Utusan itu membawa ultimatum yang bersifat mengancam kepada Sultan Hasanuddin. Ultimatum itu dibalas dengan surat yang juga bernada keras. Sultan Hasanuddin tidak mau menyerah. Semangatnya semakin membara, setiap benteng diperlengkapi. Kompeni Belanda memilih perang, armada besar dipersiapkan, yaitu 31 kapal perang dan 2.700 tentara terlatih yang dipimpin oleh Johan van Dam dan dibantu oleh Johan Truytman. Peperangan ini berlangsung selama hampir 2 tahun lamanya. Pada tanggal 12 Juni 1660 Benteng Panakkukang jatuh ke tangan Belanda.

Dengan semangat lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda, pasukan Sultan Hasanuddin bertempur selama dua hari. Lebih dari 2.000 orang Portugis diusir dari Makassar dan armadanya dihancurkan. Orang Portugis ini oleh Belanda dikirim ke Pulau Timor. Dari kedua belah pihak berjatuhan banyak korban

yang tewas dan luka.

Setelah itu gencatan senjata dilakukan. Perundingan damai dilaksanakan. Karaeng Popo dan sejumlah bangsawan Kerajaan Gowa berangkat ke Batavia untuk berunding. Hasilnya, adalah sebuah perjanjian yang merugikan Kerajaan Gowa. Perjanjian itu bernama Perjanjian Batavia yang berisi:

  1. Makassar tidak boleh campur tangan soal Buton, Ternate, dan Ambon
  2. Banda, Buton, Maluku, dan Manado tidak boleh didatangi oleh orang-orang Makassar.
  3. Orang Portugis dilarang berdagang di Makassar.
  4.  Belanda boleh menetap di Makassar.

Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian itu. Namun, perjanjian ini tidak berlangsung lama. Belum hilang bekas perang dengan Belanda, Raja Bone melakukan pemberontakan dengan mulai memerangi Kerajaan Gowa. La Tenri Tatta to Erung bergelar Arung Palakka, sahabat sepermainan Sultan Hasanuddin semasa kecil memimpin pemberontakan itu. Namun, laskar kerajaan Gowa dapat mematahkan pemberontakan itu pada tanggal 11 Oktober 1660. Arung Palakka bersama 4.000 orang pasukannya menyingkir ke Buton dan mendapat perlindungan di sana karena pada saat itu Sultan Buton telah bersekutu dengan Belanda.

Belanda punya cara menaklukkan lawan. Kerajaan- kerajaan Nusantara yang terpecah-pecah diadu satu sama lain. Arung Palakka mendatangi Belanda di Batavia untuk meminta bantuan melawan Sultan Hasanuddin. Kedatangan Arung Palakka di Batavia disambut hangat oleh Kompeni Belanda. Kerugian yang diderita Belanda untuk menundukkan Sultan Hasanuddin cukup banyak dan sudah memakan waktu yang lama. Kesempatan menaklukkan Gowa sudah terbuka, Arung Palakka bisa diadu dengan Sultan Hasanuddin. Perang saudara bisa dilakukan.

Ketika Arung Palakka ke Batavia, sambutan terhadapnya sangat meriah. Daerah Angke di Batavia diberikan untuk tempat tinggal Arung Palakka bersama pengikutnya. Sultan Hasanuddin sangat sedih mendengarnya. Persiapan sudah dilakukan. Benteng-benteng sudah diperbaiki. Meriam dan alat perang sudah ditambah, prajurit juga ditambah. Sementara itu Belanda sudah mempersiapkan suatu armada besar, pukulan terakhir untuk Kerajaan Gowa akan segera dilancarkan.

Pada tahun 1662 kapal Belanda De Walvis masuk ke perairan Makassar tanpa pemberitahuan. Pengawal pantai berusaha mencegah mereka masuk ke perairan Makassar dan perang pun terjadi. Pengawal pantai dapat menyita 16 pucuk meriam. Pihak Belanda menuntut pengembalian meriam itu. Belanda kemudian mulai meniupkan perang saudara. Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1664, Sultan Ternate, Sultan Buton, dan Arung Palakka dikumpulkan dalam suatu pertemuan di Batavia. Mereka harus memerangi Sultan Hasanuddin, dan Belanda akan memberi bantuan. Sultan Hasanuddin sudah mengetahui cara Belanda itu. Untuk menghindari perang saudara, Sultan Hasanuddin melunak dan mau berdamai. Sultan Hasanuddin meminta kepada Belanda agar Bone, Buton, dan Seram tidak dianakemaskan. Belanda tidak mau mendengar permintaan Sultan Hasanuddin. Belanda sudah berniat untuk menghancurkan Kerajaan Gowa.

Untuk mempersiapkan perang besar melawan Belanda, Sultan Hasanuddin harus menundukkan kerajaan yang sudah berhasil dibujuk oleh Belanda. Buton harus ditaklukkan lebih dahulu. Sultan Hasanuddin memerintahkan untuk menyiapkan sebuah ekspedisi ke timur. Sejumlah 700 buah kapal perang dan 20.000 prajurit di bawah pimpinan Laksamana Alimuddin Karaeng Bontomarannu beserta Sultan Bima dan Raja Luwu yang telah diangkat menjadi Laksamana Muda Kerajaan Gowa memimpin armada tersebut. Pada akhir Oktober 1666, Buton berhasil diduduki oleh Laksamana Karaeng Bontomarannu. Beberapa waktu kemudian Buton dapat dibebaskan oleh armada Belanda yang dipimpin oleh Admiral Speelman dan Arung Palakka. Belanda telah berhasil mengadu domba antara kerajaan-kerajaan Nusantara di belahan timur sehingga saling menyerang.

Rapat penguasa kolonial Belanda di Batavia tanggal 5 Oktober 1666 memutuskan untuk segera menaklukkan Kerajaan Gowa dan merebut Makassar. Armada Belanda dipimpin oleh Cornelius Speelman dan dibantu oleh Arung Palakka dan Kapten Jongker dari Manila dan sekutu-sekutu Belanda diperintahkan untuk menggempur Makassar. Armada itu berangkat dari Batavia 24 November 1666 dengan kekuatan yang besarnya 21 buah kapal perang besar, 600 orang tentara Belanda, 400 laskar Arung Palakka dan Kapten Jongker. Armada itu tiba di depan benteng Somba Opu tanggal 15 Desember 1666.

Di dalam Kota Makassar di pusat Ibu Kota Gowa dan daerah di sepanjang pantai menjadi tegang. Menunggu saat-saat penyerangan Belanda. Para pedagang asing yang bermukim di sana menghentikan kegiatannya dan membuat perlindungan. Semua meriam dan pasukan di seluruh benteng sudah siap, bahan makanan sudah dipersiapkan untuk persiapan perang beberapa bulan. Sepanjang pantai dari Tallo sampai Bantaeng pasukan perlawanan rakyat sudah dipersiapkan pula.

Satu-satunya yang dikhawatirkan Sultan Hasanuddin adalah pasukan Bone yang berada di daerah pertahanan Gowa mulai memberontak. Armada perangnya dengan 700 kapal di bawah pimpinan Laksamana Karaeng Bontomarannu masih berada di Buton. Saat-saat tegang seperti itu, Speelman mengirim utusan menemui Sultan Hasanuddin. Utusan itu membawa tuntutan agar Sultan Hasanuddin menyerah saja dan membayar kerugian Belanda dalam perang terdahulu. Tuntutan Speelman ini hanya alasan untuk memulai penyerangan. Sultan Hasanuddin menjawab surat itu dengan berkata “Bila kami diserang, maka kami akan mempertahankan diri dan menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang ada. Kami berada di pihak yang benar. Kami ingin mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan negeri kami.”

Saat yang ditunggu akhirnya tiba. Pagi buta tanggal 21 Desember 1666. Bendera merah dikibarkan armada perang Speelman yang menandakan dimulainya penyerangan ke Makassar. Meriam-meriam Belanda mulai memuntahkan pelurunya, udara pun dipenuhi asap mesiu. Semangat perlawanan para prajurit Gowa terbakar dan menyala-nyala. Perahu kecil bersenjata menyerbu mendekati kapal perang Belanda. Dengan dilindungi oleh hujan yang sangat lebat armada semut perahu perang milik Kerajaan Gowa mulai menghantam dari dekat inti armada perang Speelman. Speelman mengundurkan diri dari Somba Opu ke selatan meninggalkan pantai.

Di Laikang, yaitu pantai sebelah selatan Makassar, pasukan-pasukan pendarat Speelman dan Arung Palakka mencoba mengadakan pendaratan. Pasukan Gowa bersama rakyat telah menanti dengan semangat pantang menyerah. Pasukan penjajah dibuat kocar-kacir olehnya. Pada tanggal 24 Desember 1666, armada Speelman mundur dan meninggalkan pantai Laikang. Mereka berlayar ke selatan dan mendaratkan pasukannya di Bantaeng esok harinya. Perahu-perahu dagang yang ramai bersandar di pantai pada waktu itu diserang dan ditenggelamkan. Bantaeng dan 30 desa di sekitarnya dibumihanguskan, banyak orang terbunuh. Rumah-rumah dibakar dan tak luput pula lumbung beras Kerajaan Gowa ikut dibakar.

Laskar kerajaan Gowa mengadakan perlawanan sengit, perang pun berlangsung seru. Perkelahian satu lawan satu terjadi. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Setelah bertempur sehari semalam, Speelman mundur dan semua pasukannya ditarik naik ke kapal. Speelman memutuskan untuk menghadapkan Sultan Hasanuddin untuk berperang langsung dengan pasukan Raja Buton, Raja Ternate, dan Raja Bone untuk mengurangi kerugian di pihak Belanda. Speelman melarikan diri dan tidak bertanggung jawab. Speelman mencari celah agar dapat dengan mudah menaklukkan Sultan Hasanuddin.

Kabar dari mata-mata Speelman juga memberitahukan bahwa armada inti Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Laksamana Karaeng Bontomarannu masih berada di Buton dengan 700 kapal perangnya. Inilah kesempatan bagi Speelman untuk menghancurkan kekuatan laut Sultan Hasanuddin. Tanggal 1 Januari 1667 armada Speelman tiba di Buton dan langsung menghantam armada Karaeng Bontomarannu yang sudah kelelahan menghadapi pasukan Buton di darat. Akhirnya Karaeng Bontomarannu menyerah tanpa syarat kepada Speelman pada tanggal 4 Januari 1667. Kemenangan ini dirayakan Speelman. Kepada Sultan Buton, pihak Belanda memberikan hadiah 100 ringgit setahun.

Armada Speelman kemudian berlayar ke Ternate. Arung Palakka mengirim pasukannya sebanyak 2.000 orang ke Bone membentuk pasukan baru untuk persiapan menyerang Gowa. Bulan Juni 1667 Speelman bersama Sultan Mandarsyah membawa pasukan Ternate, Bacan, dan Tidore bergabung dengan pasukan Arung Palakka dan Kapten Jongker. Perang pecah tanggal 7 Juli 1667. Sekitar 7.000 orang pasukan Gowa menyerang tiba-tiba. Empat hari kemudian armada Belanda berlayar menuju pusat Kerajaan Gowa. Tanggal 19 Juli perairan Makassar sudah dipenuhi oleh kapal perang Belanda. Benteng Somba Opu sudah dikepung dari laut.

Perang yang menentukan telah tiba. Betapa kepemimpinan Sultan Hasanuddin diuji oleh Tuhan. Semua kehidupan itu telah ditentukan adanya. Bau mesiu dan darah memenuhi udara. Benteng Somba Opu menjadi pusat pertahanan utama Kerajaan Gowa. Perlawanan rakyat Kerajaan Gowa langsung dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dan Sultan Harun Al Rasyid Raja Tallo. Di benteng Ujungpandang dipimpin oleh Karaeng Bontosunggumpin dan Karaeng Popo memimpin pertahanan di benteng Panakkukang.

Berhari-hari perang itu berlangsung. Bahkan berbulan. Rakyat Kerajaan Gowa mempertahankan diri dalam kebenaran untuk bebas sebagai manusia di dunia ini. Pada tanggal 19 Agustus 1667 pagi hari, Benteng Galesong diserang oleh meriam pasukan Belanda. Benteng Galesong adalah tempat menyimpan perbekalan. Beras Kerajaan Makassar disimpan di benteng itu. Benteng Galesong dibakar oleh Belanda. Rakyat Kerajaan Gowa di Makassar tak gentar dengan peristiwa itu. Hari demi hari perang berkecamuk. Pada awal September 1667 Speelman memindahkan perhatiannya. Di daratan 6.000 orang pasukan Arung Palakka bersama Kapten Poolman menyerang Galesong dan Barombong. Penyerangan itu dilawan oleh pasukan kerajaan Gowa yang dibantu rakyat. Dengan meriam besar jarak jauh milik pasukan Gowa, mereka dapat mengusir armada Speelman. Di darat pasukan Arung Palakka berhasil dipukul mundur.

Keadaan ini membuat Speelman meminta bantuan dari Batavia. Belanda mengirim 5 kapal perang besar dibawah komando Kapten P. Dopun. Pada tanggal 22 Oktober 1667, Armada Speelman dan armada Dupon mengepung rapat Makassar. Dengan meriam- meriam besar, benteng Barombong dibombardir terus-menerus tak henti-hanti. Pilu sekali keadaan rakyat Gowa. Pedih karena ketamakan Belanda. Situasi itu mengenaskan dan menyedihkan karena sesama rakyat di wilayah timur saling membunuh membantu keserakahan Belanda. Pasukan Speelman didaratkan di Galesong dibantu Arung Palakka. Somba Opu dikepung dari laut maupun dari darat. Terjadi pertempuran yang sangat sengit antara Gowa dan pasukan Bone, Ternate, Buton, serta Maluku. Korban berjatuhan dari bangsa sendiri yang diadu oleh Belanda.

Kedua belah pihak sudah sangat kelelahan. Pada tanggal 5 November 1667, Speelman melapor ke Batavia bahwa pasukannya sudah sangat lelah, semangat tempur merosot. Sejumlah 182 serdadu dan 95 matros jatuh sakit. Pasukan Buton, Ternate, dan Bugis juga diserang sakit perut. Speelman minta dikirimi lagi perlengkapan dan prajurit. Pasukan Sultan Hasanuddin juga mengalami hal serupa. Namun, pasukan Sultan Hasanuddin tidak dibantu siapa-siapa. Mereka prajurit militan dan hebat. Pertempuran selama berbulan-bulan dan pengepungan benteng itu sangat mencemaskan dan merisaukan Sultan Hasanuddin. Setelah 4 hari bertempur, benteng Barombong direbut Belanda, tetapi semangat prajurit Gowa masih membara. Sultan Hasanuddin masih mampu meneruskan peperangan.

Sultan Hasanuddin dikenal arif dan bijaksana. Beliau merasa sedih karena harus bertempur melawan keluarga sendiri. Arung Palakka La Tenri Tatta to Erung sudah seperti saudara kandung sendiri. Sultan Hasanuddin mempertimbangkan bahwa pertumpahan darah di kalangan orang Makassar dan Bugis harus segera dihentikan. Meneruskan perang hanya akan menguntungkan Belanda.

Speelman kemudian mengusulkan perdamaian. Perundingan antara Speelman dan Sultan Hasanuddin diadakan di Bungaya dekat benteng Barombong yang sudah direbut Belanda. Setelah berkali-kali berunding, maka pada hari Jumat tanggal 18 November 1667, tercapailah suatu perjanjian perdamaian yang dikenal sebagai “Cappaya Ri Bungaya” atau Perjanjian Bungaya. Perjanjian ini tidak berlangsung lama karena memberatkan kerajaan Gowa. Benteng Ujungpandang diserahkan kepada Speelman dan diganti namanya menjadi “Fort Rotterdam”. Speelman juga mempersiapkan benteng ini untuk bertahan dan menyerang, karena keyakinannya bahwa Perjanjian Bungaya akan segera batal.

Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid, Karaeng Lengkese, dan Arung Matowa Wajo tidak menerima perjanjian Bungaya. Pasukannya ditarik, tekad mereka tetap: “hanya mayat yang bisa menyerah”. Mereka mendesak Sultan Hasanuddin membatalkan Perjanjian Bungaya. Akhirnya perang pecah kembali tanggal 21 April 1668. Mereka mencoba merebut kembali benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam). Hari demi hari bulan demi bulan perang terus berlangsung. Pada catatan buku harian Speelman tertulis antara lain: “Pertempuran berlangsung sengit. Banyak orang Belanda mati atau luka, Arung Palakka juga menderita luka. Setiap hari 7 atau 8 orang serdadu Belanda dikuburkan. Speelman jatuh sakit. 5 orang dokter, 15 pandai besi tewas. Tenaga bantuan dari Batavia hanya 8 orang yang masih sehat. Dalam tempo 4 minggu, 139 orang mati dalam benteng Ford Rotterdam dan 52 orang tewas di kapal”.

Pada tanggal 5 Agustus 1668, Karaeng Karunrung membawa pasukannya menyerbu Fort Rotterdam. Pada serangan ini Arung Palakka nyaris tewas. Speelman meminta bantuan dari Batavia. Pasukan dan peralatan perang dari Batavia tiba pada bulan April 1669. Meriam besar dibuat dan larasnya diarahkan ke benteng Somba Opu. Parit-parit pertahanan sudah dibuat, persiapan Belanda sudah matang. Akhirnya pada tanggal 15 Juni 1669 pasukan Speelman menyerang terus-menerus tak berhenti ke benteng Somba Opu. Pertempuran berlangsung siang dan malam. Meriam Belanda menembakkan lebih 30.000 biji peluru ke benteng Somba Opu. Patriot Kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan yang gigih atas serangan Belanda berupa hujan peluru dan meriam.

Setelah perang selama selama 10 hari siang dan malam, maka pada tanggal 24 Juni 1669 seluruh benteng Somba Opu dikuasai Belanda. Tidak kurang 272 pucuk meriam besar dan kecil termasuk meriam keramat “Anak Mangkasara” dirampas Speelman. Sultan Hasanuddin mundur ke benteng Kale Gowa di Maccini Sombala dan Karaeng Karunrung meninggalkan istananya di Bontoala mundur ke Benteng Anak Gowa. Benteng Somba Opu kemudian diratakan dengan tanah. Beribu-ribu kilo amunisi meledakkan benteng yang tebalnya 12 kaki ini. Udara merona merah dan tanah seakan gempa. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Bau menyengat hangus karena bakaran ledakan mesiu dan api yang menjilat. Seluruh istana Somba Opu dihancurkan luluh lantak dengan tanah. Betapa kejamnya Belanda pada waktu itu.

Sultan Hasanuddin setelah bertempur melawan Belanda dengan dahsyat akhirnya kalah. Perang yang sangat lama. Belanda menang karena dibantu oleh kerajaan-kerajaan lain yang tidak menyukai kesultanan yang dipimpin Hasanuddin. “Ayam Jantan

Dari Timur” tidak pernah pudar dalam semangat. Tidak pernah mundur. Sultan Hasanuddin dan pasukannya mempertahankan tanah kelahiran, tanah pusaka nenek moyang, hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Gudang makanan dihancurkan Belanda dan sekutunya. Sultan Hasanuddin masih tetap terus berperang. Kekuatan fisik dan peralatan ternyata terbatas. Somba Opu dapat dikuasai Belanda. Sultan Hasanuddin beserta pengikutnya bersembunyi dan menata kekuatan di Benteng Kale Gowa.

Usaha Belanda di bawah pimpinan Speelman memecah belah persatuan Kerajaan Gowa terus dilancarkan. Usaha ini berhasil, setelah diadakan “pengampunan umum”. Siapa yang mau menyerah diampuni Belanda. Beberapa pembesar kerajaan menyatakan menyerah. Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese menyatakan tunduk pada Perjanjian Bungaya.

Sultan Hasanuddin sudah bersumpah tidak akan sudi bekerja sama dengan penjajah Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1669 Sultan Hasanuddin meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke-16 setelahselama 16 tahun berperang melawan penjajah dan berusaha mempersatukan kerajaan Nusantara. Sebagai penggantinya ditunjuklah putranya I Mappasomba Daeng Nguraga Bergelar Sultan Amir Hamzah. Sesudah turun takhta, Sultan Hasanuddin banyak mencurahkan waktunya sebagai pengajar Agama Islam dan berusaha menanamkan rasa kebangsaan dan persatuan. Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 bertepatan dengan tanggal 23 Muharram 1081 Hijriah. Sultan Hasanuddin wafat dalam usia 39 tahun. Beliau dimakamkan di suatu bukit di pemakaman raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa di Kampung Tamalate.

 

Biodata Penulis

Nama : Dad Murniah

Riwayat Pekerjaan

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Riwayat Pendidikan:

  1. S-1 Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang
  2. S-2 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Jakarta

Biodata Penyunting

Nama : Setyo Untoro

Riwayat Pekerjaan

  1. Staf pengajar Jurusan Sastra Inggris, Universitas Dr. Soetomo Surabaya (1995—2001)
  2. Peneliti, penyunting, dan ahli bahasa di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2000—sekarang)

Riwayat Pendidikan

  1. S-1 Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang (1993)
  2. S-2 Linguistik Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2003)

Flayer Undangan Kolaborasi Nando Rumahorbo

Postingan Terpopuler

Ga ingin telat info dari web saya?

Dapatkan artikel terbaru
Loading

Topik yang dibahas