Marginalisasi Perempuan dalam Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo : Sebuah Kajian Feminisme
Emeninta Prihartini Sitepu
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk marginalisasi perempuan dalam novel Perempuan yang menangis Kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa marginalisasi perempuan sebanyak 13 data. Sumber data yang diperoleh terdapat pada novel Perempuan yang menangis Kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo. Data penelitian ini berupa dialog para tokoh, narasi, perilaku dan pemikiran tokoh dalam dalam novel yang menggambarkan marginalisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa marginalisasi perempuan dalam Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo diperoleh 13 data berupa (1) pembatasan berbagai tindakan perempuan, (2) menerima keputusan sepihak, (3) kontrol atas seksualitas perempuan, (4) tuntutan atas kebutuhan laki-laki, (5) serta menguasai harta dan sumber daya ekonomi,
Kata kunci : Marginalisasi, Perempuan, Femenisme
- PENGANTAR
Novel sebagai karya sastra diciptakan oleh pengarangnya berdasarkan pada realitas yang ditangkap oleh pengarangnya melalui sudut pandangnya, sehingga di dalam novel terdapat ekspresi realitas kehidupan. Oleh karena itu, kehadiran novel merupakan bagian dari representasi kehidupan masyarakat yang terjadi pada kurun waktu tersebut. Pada novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam, pengarang menggambarkan potret kehidupan masyarakat Sumba yang masi menganut sistem patriarki dengan berdampak adanya marginalisasi terhadap perempuan. Hal ini memberikan nilai positif yang dapat diserap dan direalisasikan dalam kehidupan para pembaca, terutama terkait dengan isu marginalisasi pada perempuan karena terikat terhadap suatu budaya. Sebagai rakyat Indonesia yang memiliki ragam suku dan budaya, menjadi suatu kewajiban menjaga kelestarian tradisi masing-masing sebagai identitas diri dan untuk memelihara warisan leluhur. Namun demikian, adakalanya suatu tradisi tidak lagi sesuai atau kurang pas untuk dijalankan, sehingga mungkin perlu penyesuaian tanpa harus menghilangkan esensinya. Dian Purnomo telah berhasil mengangkat tradisi kawin tangkap sebagai suatu isu sosial khususnya isu perempuan yang mungkin merupakan informasi yang baru bagi sebagian orang. Melihat pandangan masyarakat setempat dan masyarakat umum dalam melihat tradisi ini.
Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo ini merupakan hasil dari residensi pengarang di Waikabubak yang diberikan oleh Komite Buku Nasional dan Kemendiknas untuk tinggal di Waikabubak selama enam minggu yang mengangkat kisah nyata korban kawin tangkap. Pengarang mewawancarai perempuan-perempuan yang jadi korban kawin tangkap untuk memperdalam riset demi novel ini. Seiring perkembangan zaman tidak semua warisan budaya Indonesia dapat dilestarikan dalam waktu yang lama. Salah satunya seperti kawin tangkap, yang justru banyak merugikan perempuan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah konsep perempuan Sumba yang dimarginalisasi atas nama adat, maka penelitian ini dilakukan melalui kajian kritik sastra feminisme. Tujuan feminis adalah keseimbangan atau interaksi gender. Feminis adalah orang yang menganut paham feminisme. Feminisme berasal dari kata Latin, yaitu femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan. Penelitian ini dilakukan melalui kajian kritik sastra feminisme untuk menganalis bentuk marginalisasi terhadap perempuan.
- LANDASAN TEORI
2.1. Kritik Sastra Feminisime
Menurut Ratna (2007: 221), kata feminis berasal dari kata femme yang berarti perempuan. Feminisme adalah gerakan yang bertujuan untuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Masalah-masalah yang diusung oleh gerakan ini sangat beragam, mulai dari patriarki sampai wilayah politik. Menurut Sugihastusi dan Suharto (2019: 6), feminisme lahir di Barat dan mulai berkobar pada akhir 1960-an, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Gerakan ini mempengaruhi banyak aspek kehidupan dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan seorang wanita. Sejak berkembangnya kritik feminis sebagai bagian dari gerakan perempuan internasional pada akhir tahun 1960-an, konsep mengeksplorasi kritik sastra feminis ini telah menjadi pilihan yang menarik.
Batasan kritik sastra feminisme dikemukakan oleh Culler (dalam Sugihastuti dan Suharto 2019) bahwa kritik sastra feminis adalah membaca sebagai perempuan. Yang dimaksud membaca sebagai perempuan adalah persepsi pembaca bahwa makna karya sastra memiliki perbedaan gender dan konflik makna yang penting. Sejalan dengan hal tersebut, Djajanegara (Prasigit, 2020:11) menemukan bahwa feminisme yang dikaitkan dengan karya sastra erat kaitannya dengan kritik sastra feminis, yaitu kajian terhadap karya sastra berbasis feminis, keadilan dalam kontemplasi keberadaan perempuan. Sebagai seorang penulis dan dalam karya sastranya, kritikus menyadari keberadaan gender terutama dalam sastra, budaya dan kehidupan. Sastra feminis percaya bahwa pembaca perempuan dan kritikus perempuan membawa persepsi, pemahaman, dan asumsi yang berbeda terhadap pengalaman membaca karya sastra dibandingkan dengan laki-laki. Wawasan mereka diprakarsai oleh para perintis dan kemudian berkembang dalam banyak cara.
Jiwa kritik sastra feminis adalah analisis gender. Dalam analisis gender, kritikus harus mampu membedakan antara konsep seks dan gender. Fakih (2019:8) menjelaskan bahwa gender merupakan ciri khas laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya melalui proses yang panjang. Oleh karena itu, gender pada dasarnya merupakan konstruksi sosial budaya, yang merupakan interpretasi budaya terhadap perbedaan gender. Misalnya, perempuan dikenal lembut, cantik, pemalu, setia, sering emosional dan keibuan. Pria dianggap kuat, berani, agresif, tidak jujur, maskulin, sering rasional dan kuat. Secara umum, ada dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Dalam hal seks, perbedaan antara laki-laki dan perempuan terletak pada bentuk tubuh mereka. Hal ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa seorang laki-laki memiliki penis, kala menjing dan seorang laki-laki menghasilkan sperma. Perempuan dapat melahirkan dengan alat reproduksi seperti rahim. Jika seorang laki-laki dianggap kuat dari seorang perempuan, maka perempuan dituntut harus lemah, maka perempuan memiliki banyak batasan secara fisik dan mental membuat perempuan kehilangan hak-haknya.
Djajanegara (dalam Prasigit, 2020: 12) juga menyatakan bahwa kritik sastra feminis muncul dari keinginan feminis untuk mengkaji karya-karya penulis perempuan dimasa lalu dan menampilkan citra perempuan dalam karya-karya penulis laki-laki dengan ditekan berbagai cara dan diabaikan oleh tradisi patriarki. Demikian pula Sugihastuti (2010:136) menyatakan hal yang sama bahwa kritik sastra feminis bertujuan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya menulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan disalah tafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarki.
Selanjutnya Wiyatmi (2010: 16) menjelaskan bahwa kritik sastra feminis merupakan varian dari kritik sastra (kajian sastra) yang menjustifikasikan keberadaan perempuan baik pada perempuan sebagai pengarang maupun dalam karya sastranya. Kritik sastra feminis mengkaji bagaimana perempuan eksis di seluruh masyarakat, sebagaimana dibuktikan masyarakat memperlakukan perempuan dengan laki-laki. Endraswara (2008:149) berpendapat bahwa peneliti perlu membaca sebagai perempuan (read as women) jika ingin mengkaji menggunakan sastra feminis. Hal tersebut karena kesadaran sebagai perempuan dalam menghadapi masalah perempuan akan berbeda dengan membaca masalah perempuan sebagai laki-laki.
- Marginalisasi
Marginalisasi dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa, seperti penggusuran, bencana alam, dan proses eksploitasi. Namun ada satu bentuk pemiskinan terhadap satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan yang disebabkan oleh gender. Terdapat beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses peminggiran perempuan karena perbedaan gender tersebut. Dari segi sumber, banyak yang berasal dari kebijakan pemerintah, kepercayaan, interpretasi agama, kepercayaan tradisi dan adat istiadat atau bahkan asumsi ilmiah.
Depdiknas (2008:716) mengungkapkan bahwa marginalisasi adalah usaha membatasi. Marginalisasi perempuan yaitu usaha membatasi gerak pada kaum perempuan. Murniati (Surjowati, 2014: 64) menjelaskan bahwa marginalisasi berarti penempatan atau perpindahan ke pinggiran. Marginalisasi adalah proses mengabaikan hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh pihak yang terpinggirkan. Namun, hak-hak ini disalahgunakan karena berbagai alasan. Menurut Fakih (2019: 14), proses keterasingan sama dengan proses kemiskinan. Pihak-pihak yang terpinggirkan tidak diberi kesempatan untuk berkembang.
Perempuan adalah pihak yang dirugikan daripada laki-laki dalam hal ketidakadilan gender ini. Misalnya dalam hal pekerjaan. Perempuan yang bekerja dianggap hanya memberikan tambahan penghasilan bagi keluarga, sehingga perbedaan gaji juga berlaku antara perempuan dan laki-laki. Hal senada juga diungkapkan oleh Yuarsi (dalam Airlandha 2017:23) yang menyatakan bahwa posisi dan upah terendah akan dialami oleh perempuan meskipun jika dilihat dari pendidikan dan kemampuannya tidak kalah dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan para pemilik modal berpandangan bahwa laki-laki lebih fleksibel dalam berbagai hal dan perempuan dianggap tidak produktif. Jika perempuan membutuhkan cuti hamil, melahirkan, dan jarang bisa bekerja lembur karena beban ganda mengurus keluarga di rumah, tidak demikian dengan laki-laki.
Menurut Fakih (2019: 15), perempuan tidak hanya diperlakukan secara tidak adil di tempat kerja, tetapi juga dalam bentuk diskriminasi terhadap perempuan oleh keluarga mereka sendiri. Keluarga perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal keputusan keluarga. Sang ayah memiliki kekuatan mutlak atas kehidupan istri dan anak -anaknya dan posisi putra dan putrinya. Bahkan jika posisi anak perempuan mendahului posisi putranya, putranya segera menggantikan ayah jika ayahnya mati. Kedudukan laki-laki dalam memperoleh pendidikan tinggi juga memengaruhi pendidikan perempuan yang rendah. Misalnya, jika sebuah keluarga berada dalam krisis keuangan, ayah memprioritaskan pendidikan tinggi untuk anak laki-laki daripada anak perempuan. Anak perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk membantu di rumah. Hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa dalam masyarakat patriarki, putranya adalah wakil patriarki (wakil pencari nafkah) dan perempuan itu menjadi ibu rumah tangga ketika menikah.
Murniati (Surjowati, 2014: 71) juga menjelaskan bahwa proses keterasingan tidak hanya terjadi di luar perempuan, tetapi keterasingan dalam dirinya sendiri mempengaruhi perempuan. Ini karena ketidakpercayaan perempuan, yang menyebabkan mereka menarik diri dari kompetisi. Ada juga desakan masyarakat patriarki dengan kepribadian yang lemah dan lembut, dan sepertinya perempuan bersenjata melawan semua aturan ini. Menurut Bhasin (1999: 5) dimasyarakat patriarki ada beberapa bidang kehidupan wanita yang didominasi oleh pria. Bidang kehidupan ini adalah:
1.Membatasi Daya Produktif atau Tenaga Kerja Perempuan
Menurut Walby (Bhasin, 1999: 5) ibu rumah tangga merupakan posisi di mana perempuan dijadikan budak untuk suami dan orang-orang yang tinggal di dalam keluarga tersebut. Seorang pekerja perempuan di sini terancam menyediakan semua yang dibutuhkan suami dan kehidupan keluarganya. Dia tidak jauh berbeda dari perempuan yang bekerja.
Bhasin (1999: 6) juga menyatakan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah juga tidak memiliki kemerdekaan. Jenis pekerjaan yang dapat mereka lakukan ditentukan oleh laki-laki, pekerjaan mana yang cocok untuk perempuan dan yang tidak. Di sini, perempuan dikecualikan dari pekerjaan bergaji tinggi.
2. Kontrol Atas Reproduksi Perempuan
Perempuan terkadang tidak memiliki kebebasan reproduksi dan semuanya dikendalikan oleh seorang laki-laki. Faktanya, Bhasin (1999: 6) menyatakan bahwa reproduksi modern ini ditentukan oleh negara (didominasi pria). Seperti di India, sistem keluarga berencana diamanatkan oleh negara untuk hanya memiliki dua anak untuk mengekang pertumbuhan populasi. Tidak seperti Indonesia dan India, Malaysia dan Eropa bahkan mendorong perempuan untuk memiliki banyak anak. Ini karena Malaysia ingin meningkatkan ekonomi domestiknya, sementara Eropa memiliki tingkat pertumbuhan populasi yang rendah. Ini menunjukkan bahwa ada pembatasan dan pembatasan yang dikenakan pada perempuan mengenai reproduksi. Perempuan dipinggirkan dalam menentukan keputusan dan hak-hak perempuan diabaikan oleh negara dan pihak berwenang.
3. Kontrol Atas Seksualitas Perempuan
Seksualitas perempuan dikendalikan oleh laki-laki, sejalan dengan yang dikatakan Bhasin (1999: 8) yang menyatakan bahwa perempuan harus memberikan layanan seksual kepada laki-laki sesuai dengan kebutuhan laki-laki, bukan wanita. Laki-laki memiliki kekuatan untuk hasrat seksual. Ini berarti bahwa perempuan tidak dapat menyangkal keinginan laki-laki untuk hubungan seksual dan wanita tidak dapat memaksa laki-laki memiliki keinginan untuk huhubungan seksual. Legislasi saat ini juga membatasi perempuan daripada laki-laki.
Menurut Bhasin (1999: 8), ini terlihat di masyarakat patriarki di mana perempuan dipaksa untuk mengenakan pakaian tertutup daripada meminta anak laki-laki menundukkan kepala ketika bertemu perempuan. Ini berarti bahwa perempuan dianggap sebagai penyebab kejahatan (seksualitas) menolak kurangnya kontrol diri. pada laki-laki.
4. Gerak Perempuan yang Dibatasi
Bhasin (1999: 9) menyatakan bahwa ada batasan yang jelas dalam gerakan perempuan dalam masyarakat patriarki. Ini ditampilkan ketika ada banyak aturan yang membatasi anak perempuan. Batas ini dapat diilustrasikan ketika seorang perempuan meninggalkan rumah. Ada aturan untuk berurusan dengan lawan jenis dan berurusan satu sama lain. Kadang-kadang bahkan ada tradisi isolasi untuk perempuan remaja, yang terjadi selama periode sebelum kemerdekaan Indonesia.
5. Harta Milik dan Sumber Daya Ekonomi Lainnya Dikuasai oleh Laki-Laki
Menurut Bhasin (1999: 10), sebagian besar kekayaan dan sumber daya produktif yang dikelola lelaki diturunkan dari satu orang ke orang lain. Ini tercermin dalam undang-undang agama dan sosial yang memberi pewaris laki-laki lebih banyak daripada ahli waris wanita. Bahkan jika seorang wanita mewarisi harta ayahnya, jika dia memiliki suami, kekayaan itu dikelola langsung oleh suaminya, yang bertindak sebagai kepala keluarga yang mengelola kekayaannya. Bhasin (1999: 5) berpendapat bahwa pembatasan yang dikenakan pada perempuan ditentukan oleh masyarakat patriarki. Wanita bahkan tidak memiliki kemandirian dalam diri mereka sendiri. Ini ditunjukkan ketika reproduksi, gerakan, dan seksualitas masih dikendalikan oleh pria. Kemerdekaan perempuan juga tercermin dalam pembagian kerja yang jelas dari pria ke wanita. Wanita hanya tunduk pada berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan pria. Mereka tidak diberi kesempatan untuk tumbuh sesuai keinginan.
2.3. Novel
Nurgiyantoro (2015:11) mengungkapkan bahwa kata novel berasal dari bahasa novella, yang dalam bahasa jerman disebut novelle dan novel dalam bahasa inggris, dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia. Novella secara harfiah berarti sebuah barang baru yang kecil, yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek yang berbentuk prosa. Pendapat Nurgiyantoro tampaknya berbeda dengan pendapat Semi. Semi (dalam Susiati: 2016) mengemukakan bahwa novel adalah jenis karya sastra naratif, yang dicirikan oleh aksi dan reaksi antar karakter, terutama antara antagonis dan protagonis. Antagonis dan protagonis selalu ditampilkan dalam novel. Kehadirannya menimbulkan berbagai persoalan (konflik) yang menimbulkan kegairahan dan rasa penasaran pembaca tentang akhir cerita. Cerita yang disajikan selalu saling berkaitan. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa novel adalah karya yang membutuhkan konsentrasi yang besar dalam pembuatannya.
Zaidan, dkk (2005:136) mengungkapkan hal yang lebih rinci pula, yaitu novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar, rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang, dan mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan ragaan yang menjadi dasar konvensi penulisan. Sedangkan Aziez dan Abdul Hakim (2010:7) mengungkapkan bahwa novel merupakan sebuah karya yang diptakan dengan melibatkan segenap daya imajinasi pengarang.
- METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengkaji novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo. Sumber data yang digunakan berupa Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo. Data penelitian ini berupa dialog para tokoh, narasi, perilaku dan pemikiran tokoh dalam novel yang menggambarkan marginalisasi yang dilakukan oleh tokoh laki-laki terhadap tokoh perempuan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kepustakaan, yang menggunakan teknik dengan cara mengumpulkan data berupa arsip-arsip dokumen, termasuk buku-buku dan jurnal-jurnal yang berisikan pendapat, teori, dan yang behubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Teknik analisis data yang digunakan berupa teknik analisis deksriptif-kualitatif. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
- Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah membaca dan mempelajari secara teliti novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo.
- Selanjutnya pengkategorian data menurut jenisnya yaitu berdasarkan jenis masalah gender yaitu marginalisasi
- Setelah melalui semua proses di atas kemudian data-data yang diperoleh ditafsirkan dengan cara mendeskripsikan bentuk-bentuk marginalisasi yang terdapat dalam novel.
- Tahap akhir adalah menarik kesimpulan sebagai jawaban atas semua permasalahan dalam penelitian.
Keabsahan data yang digunakan menggunakan teknik pemeriksaan keteralihan dengan cara uraian rinci. Penelitian ini dilakukan secara cermat dan teliti untuk menggambarkan konteks penelitian yang dilakukan
- HASIL DAN DISKUSI
- Hasil penelitian
Bentuk marginalisasi perempuan dalam Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo, diperoleh 13 kutipan data berupa pembatasan berbagai tindakan perempuan, menerima keputusan sepihak, kontrol atas seksualitas perempuan, tuntutan atas kebutuhan laki-laki, serta menguasai harta dan sumber daya ekonomi yang terdapat dalam tabel berikut.
Tabel 1 Marginalisasi
No | Marginalisasi | Kutipan | Jumlah Data |
1 | Membatasi berbagai tindakan perempuan | Bukan hanya akan dikawini dengan cara diculik, dia juga akan menjadi istri kedua, jika ternyata Leba Ali belum resmi bercerai. (hal 59)
Budaya mengambil perempuan secara paksa seolah-olah mereka adalah barang yang bisa dibawa ke sana kemari tanpa ditanyakan keinginannya. Tidak banyak yang berubah di kampungnya dan Magi merasa berlari sendiri (hal 88) Manu mengatakan bahwa ayah mereka tidak akan menyekolahkan Manu. Bisa saja manu jadi penjaga konter hape atau menjadi penjaga toko serba ada satu-satunya di Waikabubak, yang penting begitu ada jodoh langsung kawinkan. (hal 196) |
3 |
2 | Menerima keputusan sepihak | “Sa sebagai wakil dari keluarga Leba Ali ada datang untuk menyampaikan kabar bahagia,” kata seorang yang tampak paling senior. Di jeda kalimatnya dia meludahkan air liur merah ke sela-sela lantai bambu. “Ama punya anak nona, Magi Diela Talo, ada di kami punya rumah.” Beberapa suara menggumam bergabung di rumah Ama Bobo. “Kami punya adik, Leba Ali, Sarjana Pendidikan, ada keinginan untuk ambil anak nona sebagai istri.” (hal 18)
Perjanjian adat sudah dibuat. Magi akan dibelis dengan 50 atau 70 ekor binatang, Tara tidak tahu pasti. Kepala Dangu semakin pusing. Sudah dua malam dia tidak tidur nyenyak (hal 32) Bekerja pasca peristiwa penculikan itu sama sekali terasa berbeda. Sekarang Magi tidak diizinkan membawa motor sendiri, selalu ada orang lain yang mengantarkannya ke kantor, kemudian menjemputnya pulang. Meskipun jengah, tapi di satu sisi Magi merasa lebih aman. Jalur-jalur yang dilaluinya kadang masih membuatnya teringat pada hari nahas itu. Satu hal lagi yang berbeda adalah kebiasaan baru ayahnya memeriksa ponsel Magi (hal 107) Ama Bobo tidak mau menyekolahkan Manu lebih dari SMA karena tidak mau ada lagi anak perempuan yang mengecewakannya. Anak dikuliahkan menghabiskan banyak uang terapi pulang menjadi permbangkang, melawan otangrua, mencoreng muka ayah sendiri dengan tahi, lupa kain lupa kebaya. Jadi sekarang biarlah Manu tetap di Waikabubak dan bekerja di sana sembari menunggu laki-laki yang akan melamarrya. (hal 197) |
4 |
3 | Kontrol atas reproduksi perempuan | – | – |
4 | Kontrol atas seksualitas perempuan | Resmi sudah berita yang akan beredar, Magi Diela ditangkap untuk dikawini oleh Leba Ali. Yappa mawine”. Darah Dangu mendidih. Dia tahu ini tidak benar. Ini bukan yappa mawine yang seharusnya. Tidak pernah ada perjanjian antara keluarga Magi dan keluarga Leba Ali. Yang dia tahu satu hal: Leba Ali terkenal mata keranjang. Walaupun belum pernah membuktikannya sendiri tetapi semua orang tahu siapa dia. (hal 19)
Leba Ali menindih Magi. Magi berusaha menyerang dengan tangan kanannya, tetapi gagal. Tangan itu segera ditangkap Leba Ali dan ditahannya di atas kepala Magi. Begitu pula dengan tangan kirinya. Kedua tangan Magi dengan mudah ditahan dengan satu tangan Leba Ali. Tubuh mereka menempel satu sama lain, Magi dapat merasakan bau tubuh Leba Ali, termasuk bau mulutnya yang bikin mual karena bau rokok dan alkohol. Kepala Leba Ali berada di sebelah kanan kepala Magi sehingga setiap kata yang diucapkannya langsung masuk ke telinga Magi. “Sa mau ko jadi sa punya istri. Tidak ada niat buruk lain. Jadi diam dan jadi istri yang baik buat sa.” Saat itu juga Magi merasa mual. Sesaat Magi mensyukuri dia dalam keadaan tidak sadar ketika Leba Ali memerkosanya, karena jika dalam keadaan bangun, persetubuhan itu akan terasa seperti dimasak hidup-hidup di tungku besar. Mengerikan dan laknat! (hal 53-54) Tapi sa tidak ada yang jamin itu laki-laki akan baik deng saya. Menjadi dong pu istri sama dengan membiarkan sa punya badan diperkosa setiap hari. “Sa merasa dia hanya mau bikin sa seperti piala (hal 186) Leba Ali mundur melepaskan cekikan di leher Magi, menahan dada Magi dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya menarik celana kulot Magi ke bawah dan merobek celana dalamnya begitu saja. Magi meronta, tetapi dia tahu ini sia-sia. Leba Ali sudah menurunkan celana dalamnya sendiri. Magi bisa merasakan sesuatu yang keras dan menjijikkan di kedua pahanya yang dia tempelkan rapat. (hal 291) |
4 |
5 | Tuntutan atas kebutuhan laki-laki | Dia merasakan setiap hentakan yang dilakukan Leba Ali sembari menampari wajah dan menggigit payudaranya. Sadar ko perempuan iblis ! lalu dia menggigit pundak Magi, “Bangun!” Leba Ali menggigit setiap bagian tubuh Magi yang bisa digigitnya, berusaha keras membuat Magi sadar. Dia merasakan setiap detiknya, dengan begitu jelasnya, saat kemaluan Leba Ali memaksa masuk kedalam dirinya dan menciptakan rasa sakit tak terperi (hal 292). | 1 |
6 | Menguasai harta dan sumber daya ekonomi | Leba Alilah dalang penculikannya. Rasa takut dan marah berlomba-lomba menempati pikiran Magi, Dia takut karena tahu kekuatan Leba Ali. Kedekatan lelaki itu dengan orang berkuasa, harta yang dimilikinya, sekaligus kegenitannya. (hal 44) |
1 |
- Diskusi
Depdiknas (2008:716) mengungkapkan bahwa marginalisasi adalah usaha membatasi. Marginalisasi perempuan yaitu usaha membatasi gerak pada kaum perempuan. Marginalisasi terhadap perempuan yang muncul dalam novel Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam adalah sebagai berikut.
“Sa sebagai wakil dari keluarga Leba Ali ada datang untuk menyampaikan kabar bahagia,” kata seorang yang tampak paling senior. Di jeda kalimatnya dia meludahkan air liur merah ke sela-sela lantai bambu. “Ama punya anak nona, Magi Diela Talo, ada di kami punya rumah.” Beberapa suara menggumam bergabung di rumah Ama Bobo. “Kami punya adik, Leba Ali, Sarjana Pendidikan, ada keinginan untuk ambil anak nona sebagai istri.” (hal 18)
Kutipan diatas menceritakan benarnya dugaan kabar bahwa Magi Diela telah diculik untuk dikawini oleh Leba Ali, Magi, yang dikabarkan belum pulang kerumah sejak pagi hingga malam dan adanya dugaan Magi diculik untuk dikawini. Hal tersebut dikhawatirkan karena kasus tersebut sudah biasa terjadi dikampung mereka, dan telah menjadi adat istiadat yang tidak boleh ditolak. Perempuan diculik dan dipaksa untuk menikah, hak-hak yang harusnya didapat oleh perempuan untuk dapat memilih sendiri pasangan hidupnya diabaikan oleh adat. Adanya keputusan sepihak dan Magi mendapat perlakuan tidak adil karena Leba Ali menginginkan Magi untuk dijadikan istrinya tanpa persetujuan dari Magi termasuk bentuk marginalisasi yang diterima oleh Magi Diela sebagai perempuan. Sejalan dengan pendapat Nimrah & Sakaria (2015:175) menyatakan bahwa laki-laki lebih mendominasi perempuan, dan perempuan selalu dipandang sebagai orang kedua setelah laki-laki, maka laki-laki yang berhak mengambil keputusan. Hak Magi sebagai perempuan untuk memilih dan menentukan keputusan telah terpinggirkan dan dibaikan oleh adat dalam masyarakat patriarki yang menganggap bahwa keputusan perempuan tidaklah penting.
Resmi sudah berita yang akan beredar, Magi Diela ditangkap untuk dikawini oleh Leba Ali. Yappa mawine”. Darah Dangu mendidih. Dia tahu ini tidak benar. Ini bukan yappa mawine yang seharusnya. Tidak pernah ada perjanjian antara keluarga Magi dan keluarga Leba Ali. Yang dia tahu satu hal: Leba Ali terkenal mata keranjang. Walaupun belum pernah membuktikannya sendiri tetapi semua orang tahu siapa dia. (hal 19)
Kutipan ini menjelaskan bahwa Magi Diela diculik, ditangkap oleh Leba Ali untuk dikawini. Leba Ali yang terkenal mata keranjang oleh seluruh warga dikampung ingin mengawini Magi Diela hanya untuk memuaskan nafsu Leba Ali termasuk kedalam bentuk marginalisasi yaitu kontrol atas seksualitas perempuan. Seksualitas perempuan dikontrol oleh laki-laki, sejalan dengan yang dikatakan Bhasin (1999:8) bahwa perempuan diwajibkan untuk memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki sesuai kebutuhan laki-laki bukan perempuan. Laki-laki memiliki kuasa terhadap keinginan seksualnya. Hal tersebut berarti perempuan tidak boleh menolak keinginan laki-laki untuk melakukan hubungan seksual dan perempuan tidak diperbolehkan memaksakan keinginannya untuk melakukan hubungan seksual pada laki-laki. Hukum yang berlaku pun lebih membatasi perempuan daripada laki-laki.
Ini yang membuat darah Dagu Toda mendidih, dia marah karena yappa mawine (kawin tangkap) yang seharusnya terjadi apabila ada perjanjian antara keluarga Magi dan keluarga Leba Ali. Tetapi yappa mawine (kawin tangkap) yang terjadi pada Magi hanyalah berdasarkan nafsu. Kawin culik yang seharusnya terjadi adalah sebagai salah satu solusi jika keluarga laki-laki gagal mencapai kesepakatan adat dengan keluarga perempuan. Jika ini penyebabnya, maka keluarga perempuan mungkin tidak mengetahui rencana tersebut sebelumnya. Setelah calon pengantin perempuan diculik, barulah keluarga perempuan tersebut menyerah dan akhirnya terjadi kesepakatan adat antara kedua keluarga. Hal ini termasuk dalam pemaksaan dalam kawin tapi masih diterima oleh adat Sumba, sehingga dapat disimpulkan bahwa kutipan diatas termasuk dalam marginalisasi keputusan satu pihak yaitu oleh keluarga Leba Ali.
Perjanjian adat sudah dibuat. Magi akan dibelis dengan 50 atau 70 ekor binatang, Tara tidak tahu pasti. Kepala Dangu semakin pusing. Sudah dua malam dia tidak tidur nyenyak (hal 32)
Kutipan diatas menceritakan perjanjian adat akan terlaksana, Magi akan menjadi istri Leba Ali tanpa persetujuan dari Magi terlebih dahulu termasuk bentuk marginalisasi yang diterima oleh Magi Diela sebagai perempuan. Hak Magi sebagai perempuan dipinggirkan dalam menentukan keputusan tersebut, hak Magi diabaikan oleh adat dalam masyarakat patriarki yang menganggap bahwa keputusan perempuan tidaklah penting. Karena Ama Bobo yaitu ayahnya Magi telah menerima lamaran dan tawaran belis yang dilontarkan oleh juru bicara yang dikirim keluarga Leba Ali. Bahkan ayahnya sendiri pun tidak meminta persetujuan dari anaknya, hal tersebut membuktikan bahwa Magi hanya menerima keputusan sepihak. Ayahnya memiliki kekuasaan mutlak terhadap kehidupan Magi.
Kutipan selanjutnya menjelaskan bahwa laki-laki menguasai harta dan sumber daya ekonomi yang terdapat dalam kutipan berikut.
Leba Alilah dalang penculikannya. Rasa takut dan marah berlomba-lomba menempati pikiran Magi, Dia takut karena tahu kekuatan Leba Ali. Kedekatan lelaki itu dengan orang berkuasa, harta yang dimilikinya, sekaligus kegenitannya. (hal 44)
Pada data di atas menunjukkan adanya marginalisasi terhadap perempuan bahwa laki yang menjadi penguasa atas sumber daya ekonomi. Menurut Bhasin (1999:10), sebagian besar harta dan sumber daya produktif dikendalikan oleh laki-laki kemudian diwariskan dari laki-laki ke laki-laki yang lainnya. Hal tersebut terlihat pada hukum agama maupun sosial yang memberikan bagian lebih banyak kepada pewaris laki-laki daripada pewaris perempuan. Hal tersebut membuat Magi merasakan ketakutan dan marah karena sudah dapat menebak dalang penculikannya, Magi ketakutan karena tahu Leba Ali lah yang menjadi dalang penculikannya, Leba Ali punya kekuasaan dan kekuatan harta dengan sifat kegenitannya. Lelaki itu memiliki sederet panjang nama gadis-gadis dan janda yang pernah dipacarinya. Sistem patriarki yang masih membudaya di masyarakat menyebabkan perempuan terus dijadikan sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang pada praktiknya menempatkan laki-laki pada posisi yang berkuasa dan menindas perempuan. Laki-laki mempunyai kekuasaan dan bebas melakukan apapun karena laki-laki menguasai harta dan sumber daya ekonomi, sedangkan perempuan yang mendapat perlakuan secara tidak adil bahkan tidak bisa untuk memilih jalan hidupnya sendiri karena semua ditentukan oleh laki-laki. Sejalan dengan pendapat Bhasin (1999:5) bahwa, hal-hal yang disebut di atas merupakan batasan-batasan yang diberikan masyarakat patriarki untuk perempuan. Perempuan tidak memiliki kemerdekaan bahkan pada dirinya sendiri.
Sesudah Magi diculik, lalu Leba Ali yang memperkosa Magi dengan perasaan tidak bersalah hanya untuk memuaskan nafsu birahi lelaki termasuk kedalam marginalisasi tuntutan atas kebutuhan laki-laki yang terdapat dalam kutipan berikut.
Leba Ali menindih Magi. Magi berusaha menyerang dengan tangan kanannya, tetapi gagal. Tangan itu segera ditangkap Leba Ali dan ditahannya di atas kepala Magi. Begitu pula dengan tangan kirinya. Kedua tangan Magi dengan mudah ditahan dengan satu tangan Leba Ali. Tubuh mereka menempel satu sama lain, Magi dapat merasakan bau tubuh Leba Ali, termasuk bau mulutnya yang bikin mual karena bau rokok dan alkohol. Kepala Leba Ali berada di sebelah kanan kepala Magi sehingga setiap kata yang diucapkannya langsung masuk ke telinga Magi. “Sa mau ko jadi sa punya istri. Tidak ada niat buruk lain. Jadi diam dan jadi istri yang baik buat sa.” Saat itu juga Magi merasa mual. Sesaat Magi mensyukuri dia dalam keadaan tidak sadar ketika Leba Ali memerkosanya, karena jika dalam keadaan bangun, persetubuhan itu akan terasa seperti dimasak hidup-hidup di tungku besar. Mengerikan dan laknat! (hal 53-54)
Kutipan diatas menjelaskan Leba Ali memperkosa Magi hanya untuk memenuhi nafsu lelaki itu termasuk dalam marginalisasi kontrol atas seksualitas perempuan. Perempuan diwajibkan untuk memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki sesuai kebutuhan laki-laki bukan perempuan. Laki-laki memiliki kuasa terhadap keinginan seksualnya. Hal tersebut berarti perempuan tidak boleh menolak keinginan laki-laki untuk melakukan hubungan seksual dan perempuan tidak diperbolehkan memaksakan keinginannya untuk melakukan hubungan seksual pada laki-laki. Leba Ali yang meyakinkan Magi untuk menjadi istri yang baik dengan cara memaksakan kehendaknya memenuhi nafsunya sendiri dan bukan berdasarkan keinginan bersama.
Kutipan selanjutnya yang memunculkan marginalisasi dalam bentuk membatasi berbagai tindakan perempuan bahwa Magi akan dijadikan istri kedua oleh Leba Ali adalah sebagai berikut.
Bukan hanya akan dikawini dengan cara diculik, dia juga akan menjadi istri kedua, jika ternyata Leba Ali belum resmi bercerai. (hal 59)
Magi bukan hanya dikawini dengan cara diculik tetapi juga akan menjadi istri kedua, karena Leba Ali belum resmi bercerai. Kata resmi cukup sulit untuk dijabarkan di kehidupan kampung adat Magi. Disana banyak orang yang menikah secara adat tetapi tidak mencatatkan perkawinannya di catatan sipil.
Budaya mengambil perempuan secara paksa seolah-olah mereka adalah barang yang bisa dibawa ke sana kemari tanpa ditanyakan keinginannya. Tidak banyak yang berubah di kampungnya dan Magi merasa berlari sendiri (hal 88)
Pembatasan gerak pada perempuan ini diterapkan dalam masyarakat patriarki. Tujuannya supaya perempuan terus terpinggirkan dan tidak melampaui laki-laki yang ditakdirkan sebagai penguasa. Hukum-hukum dalam adat dibuat untuk membatasi ruang gerak perempuan dan menonjolkan dominasi lai-laki. Aturan budaya mengambil perempuan secara paksa seolah-olah mereka adalah barang yang bisa dibawa ke sana kemari tanpa ditanyakan keinginannya, membuat Magi tidak memiliki kesempatan untuk pilihan hidupnya sendiri termasuk dalam hal memilih pasangan hidup. Dengan tidak menjadikan perempuan mandiri, laki-laki bisa terus menjadikan mereka budak yang sesuai dengan keinginannya. Hal terebut memperlihatkan hukum budaya dibuat untuk melanggengkan kekuasaan laki-laki yang termasuk dalam bentuk marginalisasi.
Setelah peristiwa yang membuat Magi trauma, Magi tidak lagi diizinkan membawa motor sendiri dan pulangpun pasti ada yang menjemput termasuk dalam marginalisasi membatasi berbagai tindakan perempuan. Ayah Magi yang mulai protektif dan selalu memeriksa ponsel Magi termasuk marginalisasi keputusan sepihak, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.
Bekerja pasca peristiwa penculikan itu sama sekali terasa berbeda. Sekarang Magi tidak diizinkan membawa motor sendiri, selalu ada orang lain yang mengantarkannya ke kantor, kemudian menjemputnya pulang. Meskipun jengah, tapi di satu sisi Magi merasa lebih aman. Jalur-jalur yang dilaluinya kadang masih membuatnya teringat pada hari nahas itu. Satu hal lagi yang berbeda adalah kebiasaan baru ayahnya memeriksa ponsel Magi (hal 107)
Mengetahui sang ayah memata-matai secara terang-terangan membuat Magi sangat kesal. Magi tahu ayahnya berusaha mengecek siapa saja yang berkomunikasi dengan Magi. Karena kebiasaan baru ayahnya, sekarang setiap hari magi terpaksa menghapus semua pesan yang dia ingin rahasiakan dari ayahnya sebelum dia pulang dari kantor. Perlakuan yang diterima Magi tersebut termasuk kedalam bentuk marginalisasi keputusan sepihak. Perampasan hak perempuan juga dilakukan laki-laki dalam hal kebebasan perempuan secara umum. Maksudnya, perempuan memiliki banyak batasan untuk melakukan sesuatu. Perempuan harus memiliki izin dari laki-laki (yang dianggap lebih kuat) bila akan keluar rumah maupun mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Magi dilarang untuk membawa motor sendiri dengan alasan untuk menjaganya dari hal-hal yang akan merusaknya diluar.
Larangan-larangan yang diberikan ayahnya kepada Magi dibuat untuk tetap menjadikan Magi sesuai keiginanya. Membatasi gerak-gerik perempuan berarti ayahnya telah membatasi kesempatan Magi untuk berkembang. Pembatasan gerak untuk perempuan ini ditetapkan dalam masyarakat patriarki. Tujuannya supaya perempuan terus terpinggirkan dan tidak melampaui laki-laki yang ditakdirkan sebagai penguasa. Kutipan selanjutnya juga menunjukkan marginalisasi dalam bentuk kontrol atas seksualitas perempuan yang terdapat dalam kutipan berikut.
Tapi sa tidak ada yang jamin itu laki-laki akan baik deng saya. Menjadi dong pu istri sama dengan membiarkan sa punya badan diperkosa setiap hari. “Sa merasa dia hanya mau bikin sa seperti piala (hal 186)
Kutipan diatas menceritakan bahwa Magi membayangkan menjadi istri laki-laki seperti Leba Ali sama saja seperti membiarkan dirinya diperkosa setiap hari. Menurut Bhasin (1996:9) perkosaan dapat dipandang sebagai alat politik yang efektif dan tindakan ini dilakukan oleh kelas penguasa terhadap anggota-anggota kelas bawah. Perempuan menjadi pihak yang lebih banyak dirugikan dan tidak mampu melawan dalam reproduksi dan seksualitas yang seharusnya menjadi hak pribadinya. Sejalan dengan pendapat Bhasin (1996:8), bahwa perempuan diwajibkan untuk memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki sesuai kebutuhan laki-laki bukan perempuan. Hal tersebut berarti perempuan tidak diperbolehkan menolak laki-laki yang mengajaknya melakukan hubungan seksual, termasuk dalam hal posisi.
Magi yang sudah trauma dengan perbuatan Leba Ali karena sudah pernah dilecehkan dan diperkosa seperti piala yang bergilir termasuk dalam marginalisasi kontrol atas seksualitas perempuan. Perempuan diwajibkan untuk memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki sesuai kebutuhan laki-laki bukan perempuan. Laki-laki memiliki kuasa terhadap keinginan seksualnya. Hal tersebut berarti perempuan tidak boleh menolak keinginan laki-laki untuk melakukan hubungan seksual dan perempuan tidak diperbolehkan memaksakan keinginannya untuk melakukan hubungan seksual pada laki-laki. Magi sudah membayangkan jika menjadi istrinya, Leba Ali akan memaksakan kehendaknya memenuhi nafsunya sendiri dan bukan berdasarkan keinginan bersama.
Seiring berjalannya waktu, Magi yang telah merantau meninggalkan kampung halamannya, mendengar kabar dari Sumba bahwa Ayah Magi tidak membiarkan Manu untuk lanjut perkuliahan dan hanya menyuruhnya menjadi penjaga konter hape atau menjadi penjaga toko serba ada termasuk marginalisasi membatasi berbagai tindakan perempuan yang terdapat dalam kutipan berikut.
Manu mengatakan bahwa ayah mereka tidak akan menyekolahkan Manu. Bisa saja manu jadi penjaga konter hape atau menjadi penjaga toko serba ada satu-satunya di Waikabubak, yang penting begitu ada jodoh langsung kawinkan. (hal 196)
Magi merasa terpukul mendengar kabar bahwa Manu, adik perempuan satu-satu yang dia miliki tidak diijinkan oleh Ayahnya untuk melanjutkan pendidikan hingga di bangku perkuliahan. Padahal Magi mempunyai mimpi yang indah tentang adiknya yang akan mengenyam bangku kuliah mungkin di Kupang atau di Jawa. Tetapi mimpi itu kini telah sirna sudah. Perlakuan yang diterima oleh Manu merupakan salah satu bentuk membatasi berbagai tindakan perempuan. Perempuan memiliki banyak batasan utuk melakukan sesuatu. Perempuan harus memiliki ijin dari laki-laki (yang dianggap lebih kuat) untuk mengambil keputusan penting dalam hidupnya.
Larangan yang diberikan Ayahnya dibuat untuk tetap menjadikan Manu sesuai dengan keinginan Ayahnya. Membatasi gerak-gerik perempuan berarti telah membatasi pula kesempatan untuk berkembang. Menurut Bhasin (1996:9) pembatasan gerak untuk perempuan ini diterapkan dalam masyarakat patriarki. Tujuannya supaya perempuan terus terpinggirkan dan tidak melampaui laki-laki yang ditakdirkan sebagai penguasa. Hal tersebut dikarenakan ketika ada pembatasan untuk gerak, berarti ada pula pembatasan untuk perempuan mendapatkan pendidikan. Padahal, pendidikan merupakan salah satu cara penyadaran terhadap perempuan, termasuk kesadaran terhadap posisinya yang dimarginalkan oleh laki-laki. Pembatasan tersebut membuat perempuan tidak memiliki kesempatan untuk belajar hidup mandiri di luar maupun memiliki pilihan untuk hidupnya sendiri.
Pembatasan gerak pada Manu ini diterapkan oleh ayahnya bertujuan agar Manu hanya menjadi penjaga konter hp atau menjaga toko saja agar Ayahnya dapat menikahkannya dengan siapa saja yang datang untuk melamar anak gadisnya tersebut. Ayahnya juga tidak ingin Manu menjadi seperti Magi yang telah dikuliahkannya dan mendapatkan pendidikan yang tinggi tapi malah mengecewakan ayahnya, menjadi pembangkang, melawan orangtua, melanggar adat dan memalukan keluarga karena telah menolak lamaran Leba Ali dengan cara melarikan diri dari kampung. Dengan begitu Magi tidak ingin adiknya kehilangan masa mudanya dan menghabiskan waktu di kampung dan menjadi korban perang yang telah dikobarkan Magi dengan sang Ayah, yang terdapat dalam kutipan berikut.
Ama Bobo tidak mau menyekolahkan Manu lebih dari SMA karena tidak mau ada lagi anak perempuan yang mengecewakannya. Anak dikuliahkan menghabiskan banyak uang terapi pulang menjadi permbangkang, melawan otangrua, mencoreng muka ayah sendiri dengan tahi, lupa kain lupa kebaya. Jadi sekarang biarlah Manu tetap di Waikabubak dan bekerja di sana sembari menunggu laki-laki yang akan melamarrya. (hal 197)
Kutipan diatas memperlihatkan kekuasaan Ayah terhadap anak perempuannya. Manu menjadi perempuan yang tidak bisa menolak apapun perintah Ayahnya. Magi merasa sangat berdosa mendengar ucapan ayahnya melalui telepon tersebut. Dia yang berselisih paham dengan sang ayah tetapi adiknya yang harus menerima akibatnya. Akibat bahwa Ayahnya yang membatasi berbagai tindakan Manu untuk tidak perlu melanjutkan pendidikan dan tidak dapat memilih pasangan hidupnya sendiri. Om Vincen, Mama Ros, dan teman-teman Magi di Kupang sangat menyesalkan apa yang dilakukan oleh Ayah mereka yaitu Ama Bobo, tetapi juga curiga ini adalah jebakan, sebuah upaya untuk membuat Magi pulang ke kampung halamannya. Ama Bobo menggunakan Magi sebagai taruhan untuk mendapatkan Magi yang telah pergi, Magi hampir tidak percaya ayahnya setega itu dia sedih sekali dan tidak membayangkan bahwa akan sejauh ini.
Manu menerima paksaan untuk hidup sesuai keinginan ayahnya. Dengan membatasi berbagai tindakan Manu, membuat Manu sebagai perempuan diperlakukan seperti pekerja dan yang memegang kekuasaan adalah laki-laki yaitu Ayahnya. Ayahnya mendominasi dan mengontrol seluruh anggota keluarga, sejalan dengan pendapat Bhasin (1996:11) bahwa bentuk organisasi rumah tangga dimana laki-laki mendominasi anggota keluarga yang lain dan mengontrol produksi ekonomi rumah tangga disebut patriarki. Hal berikut membuat Magi memaksa Manu untuk meninggalkan rumah agar dapat segera berkuliah di Kupang dan mencoba meraih cita-citanya yang ingin menjadi dokter atau bidan, namun Manu menolak ajakan Magi karena setahun lebih dia telah melihat kepedihan ayahnya akan kehilangan Magi, membuat Manu merasa bahwa meninggalkan sang Ayah dengan biaya kakak yang sedang bermusuhan dengannya sama sekali bukan perbuatan bijak. Manu tidak ingin mencoreng muka sang Ayah lebih dalam lagi.
Manu sebagai anak perempuan yang tidak bisa menolak apapun perintah Ayahnya. Tindakan Manu tersebut memperlihatkan sifat perempuan yang penurut dan tidak memiliki pendirian untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Perempuan seperti Manu menerima paksaan untuk hidup sesuai keinginan laki-laki tanpa mengetahui apa sebenarnya yang diinginkannya.
Kutipan selanjutnya juga menunjukkan marginalisasi dalam bentuk kontrol atas seksualitas perempuan yang terdapat dalam kutipan berikut.
Leba Ali mundur melepaskan cekikan di leher Magi, menahan dada Magi dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya menarik celana kulot Magi ke bawah dan merobek celana dalamnya begitu saja. Magi meronta, tetapi dia tahu ini sia-sia. Leba Ali sudah menurunkan celana dalamnya sendiri. Magi bisa merasakan sesuatu yang keras dan menjijikkan di kedua pahanya yang dia tempelkan rapat. (hal 291)
Kutipan di atas menjelaskan adanya kontrol atas seksualitas perempuan. Leba Ali mengabaikan hak Magi, yakni berupa pemarginalan dalam posisi melakukan hubungan seksual. Magi sebagai perempuan harus menanggung penderitaan demi memuaskan nafsu laki-laki. Magi tidak mempunya hak kapan dia ingin melakukan hubungan seksual atau tidak. Hak tersebut hanya dimiliki oleh Leba Ali sebagai suaminya. Tidak ada penolakan yang dilakukan Magi terhadap kekerasan yang diterimanya, karena apabila menentang atau melakukan penolakan hal itu sama aja dengan dia membunuh dirinya sendiri, kekerasan yang dilakukan Leba Ali dengan mencekik leher Magi membuat Magi berfikir untuk pura-pura pingsan. Magi bertingkah seolah-olah pingsan dan merintih kesakitan dalam diam saat Leba Ali menyiksa dan memperkosanya. tetapi hal itu tidak mengurungkan niat Leba Ali untuk menyetubuhi Magi. Leba Ali malah menahan dada Magi merobek celana dalamnya begitu saja. Dengan pasrah dan pura-pura pingsan, dia membiarkan Leba Ali menindih tubuhnya yang sedang tidak ingin melakukan hubungan seksual tersebut. Kutipan selanjutnya menjelaskan tuntutan atas kebutuhan laki-laki akan seksualitas terdapat dalam kutipan berikut.
Dia merasakan setiap hentakan yang dilakukan Leba Ali sembari menampari wajah dan menggigit payudaranya. Sadar ko perempuan iblis ! lalu dia menggigit pundak Magi, “Bangun!” Leba Ali menggigit setiap bagian tubuh Magi yang bisa digigitnya, berusaha keras membuat Magi sadar. Dia merasakan setiap detiknya, dengan begitu jelasnya, saat kemaluan Leba Ali memaksa masuk kedalam dirinya dan menciptakan rasa sakit tak terperi (hal 292).
Kutipan di atas menceritakan Leba Ali memperkosa Magi hanya untuk memenuhi nafsu lelaki itu termasuk dalam marginalisasi tuntutan atas kebutuhan laki-laki akan seksualitas. Perempuan di bawah iklim patriarki bukan saja hanya menjadi ibu, tetapi juga menjadi budak seks. Perempuan hanya diperlukan sebagai objek seksualitas bagi laki-laki. Perempuan diwajibkan untuk memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki sesuai kebutuhan laki-laki bukan perempuan. Laki-laki memiliki kuasa terhadap keinginan seksualnya. Hal tersebut berarti perempuan tidak boleh menolak keinginan laki-laki untuk melakukan hubungan seksual dan perempuan tidak diperbolehkan memaksakan keinginannya untuk melakukan hubungan seksual pada laki-laki. Perempuan menjadi pihak yang lebih banyak dirugikan dan tidak mampu melawan dalam seksualitas yang seharusnya menjadi hak pribadinya.
Tuntutan atas kebutuhan laki-laki yang dialami Magi sangat menyiksa dirinya karena Leba Ali memperkosa Magi secara paksa dengan menampar dan menggigit pundak hingga payudara Magi dengan keras agar Magi bangun dan sadar. Namun Magi sudah bersumpah bahwa dia akan menahan diri untuk berpura-pura pingsan, karena dia tidak punya tenaga lagi untuk melawan. Dia juga tidak mau mati sia-sia atas kekerasan yang dilakukan oleh Leba Ali. Magi merasa neraka terulang kembali, pemerkosaan dan kekerasan yang terjadi setahun yang lalu kini dirasakannya kembali. Rasa sakit begitu jelas dirasakannya saat kemaluan Leba Ali memaksa masuk kedalam dirinya. Jiwa Magi telah dibakar habis oleh kemarahan, keberanian, dan dendam yang kian bergejolak tanpa bisa melakukan apapun. Namun Magi sudah bersumpah bahwa dia akan berhasil, jadi dia menahan diri untuk berpura-pura pingsan karena telah merencanakan perkosaan terhadap dirinya sendiri.
- PENUTUPAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan marginalisasi perempuan dalam Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo, diperoleh 13 kutipan data berupa bentuk marginalisai pada pembatasan berbagai tindakan perempuan, menerima keputusan sepihak, kontrol atas seksualitas perempuan, tuntutan atas kebutuhan laki-laki, serta menguasai harta dan sumber daya ekonomi.
BIBLIOGRAFI
Bhasin, Kamla. 1999. Persoalan Pokok Feminisme dan Relevansinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Depdiknas. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dewi, Hasti Kusuma . 2012. Marginalisasi Perempuan Dalam Novel Adam Hawa Karya Muhidin M. Dahlan : (Analisis Kritik Sastra Feminis).Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Bahasa Dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Peneilitian Sastra, Edisi Revisi. Jakarta: MedPres.
Fakih, Mansour. 2019. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurgiyantoro, Burhan. 2017. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Permana, Tenu dan Indra Maulana. 2020. Marginalisasi Perempuan Dalam Cerpen Inem Karya Pramoedya Ananta Toer (Sebuah Kajian Feminisme). Skripsi. Bogor: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan Bogor
Prasigit, Fahri Ardiyanto. 2020. Ketidakadilan Gender Dan Citra Perempuan Dalam Novel Asih Karya Risa Saraswati: Kajian Kritik Sastra Feminis. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
Putraningsih, Titik. 2006. Pertunjukan Tari: Sebuah Kajian Perspektif Gender. Imaji, (Online) Vol.4, No.1, (http://staffnew.uny.ac.id/upload/132061380/penelitian/Jurnal+Tr+Perspektif+gender.pdf, diakses 18 Desember 2020)
Ratna, N.K.2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.Yogyakarta: Pustaka Belajar
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugihastuti dan Suharto. 2019. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Surjowati , Ribut. 2014. Pemberontakan Wanita Dalam Novel Princess Karya Jean P. Sasson. Parafrase, (Online), Vol. 14, No.01, (http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/parafrase/article/download/329/319, diakses 24 Februari 2021)
Susanti, B. M. 2000. Penelitian Tentang Perempuan Dari Pandangan Androsentris ke Perspektif Gender. Dalam EKSPRESI Dari Bias lelaki menuju Kesetaraan Gender Jurnal ISI Yogyakarta.
Wiyatmi. 2012. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Wuriyani, Elly Prihasti. 2019. Ekofeminisme: Subsistensi Perempuan dalam Teks Opera Batak Perempuan di Pinggir Danau Karya Lena Simanjuntak. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.