Di daerah Kutai, Kalimantan Timur, sosok seorang petinggi sangat dihormati atau disegani oleh penduduk setempat. Boleh dikatakan bahwa semua keinginan atau kemauan petinggi, baik yang dilisankan, maupun yang tidak terucapkan, harus bisa diterjemahkan oleh bawahannya.
Tersebutlah seorang petinggi bersama istrinya yang tinggal di sebuah gunung jauh dari keramaian dan dari sanak saudara. Mereka sengaja mencari tempat yang sulit dijangkau orang agar kekhusukannya dalam bertapa tidak mudah terganggu. Orang Kutai menyebut petinggi itu Petinggi Jaitan Layar, dan istrinya bernama Nyai Minak Mampi.
”Telah lama ya, Nyai, kita hidup berdua dan belum dikaruniai seorang anak pun? Mungkin sang Dewata sedang menguji kita. Meskipun usia kita sudah tua, tidak ada salahnya kita memohon dan memohon untuk segera dianugerahi seorang anak,” Petinggi Jaitan Layar mencurahkan isi hatinya kepada istrinya.
Pada suatu malam Petinggi tampak lelap tertidur karena kelelahan. Di dalam tidurnya dia bermimpi. Dalam mimpinya itu seolah ia mendapat perintah dari sang Dewata untuk segera menghadap. Tanpa berpikir panjang, disanggupinya perintah sang Dewata. Bersama istri tercintanya, Nyai Minak Mampi, Petinggi menghadap sang Dewata.
”Sebenarnya semalam aku bermimpi berbincang dengan Dewata Agung dan aku diwajibkan bersemadi di tempat pertapaan,” kata Petinggi kepada istrinya.
”Apa yang perlu saya persiapkan, suamiku?” tanya istri Petinggi.
”Siapkan keperluan untuk bersemadi, Nyai. Jangan lupa bawa juga dupa setanggi yang nantinya akan kita bakar,” jawab Petinggi.
Tempat yang sangat sepi terkesan angker dipilihnya untuk tempat bersemadi.
”Nyai, tak terasa kita telah empat puluh hari bersemadi sesuai dengan permintaan sang Dewata. Kita akan pulang ke rumah hari ini,” kata Petinggi kepada istrinya.
”Apakah sang Dewata akan mengabulkan permintaan kita, Nyai? Kita sangat merindukan kehadiran anak untuk melengkapi hidup di dunia ini,” Petinggi bertanya kepada diri sendiri dan kepada istrinya.
Baru beberapa saat mereka memejamkan mata, suara gegap gempita itu menyentak-nyentakkan tidurnya. Akhirnya, Petinggi memberanikan diri membuka pintu dan keluar untuk mencari asal suara tersebut. Petinggi ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di luar rumah mereka.
”Suara apakah itu, suamiku?” tanya Nyai Minak Mampi sambil mengikuti langkah suaminya memeriksa sekeliling rumahnya.
”Apa yang engkau lihat, Nyai?” tanya Petinggi setengah berbisik.
”Aku belum melihat apa-apa,” sahut istrinya lirih. ”Bagaimana kita bisa melihat sesuatu? Malam begini pekat, tak satu pun bintang menerangi bumi,” lanjut istri Petinggi agak ketakutan.
”Ya, sudah kita masuk ke rumah lagi saja. Besok pagi- pagi setelah hari terang kita lihat apa yang terjadi malam ini,” ajak Petinggi Jaitan Layar dengan lembut kepada istrinya.
Sebelum sampai di pintu rumah, tiba-tiba keduanya tersentak karena mereka melihat sebuah batu besar sekali berwarna hitam melayang-layang di udara bebas, tetapi anehnya di malam gelap gulita itu batu hitam itu memancarkan sinar sampai menembus ke tanah. Pada saat itu, malam yang tadinya gelap gulita menjadi terang benderang seolah dipancari sinar terang.
”Kaki saya terasa berat untuk melangkah. Rasanya aku bingung dan takut sesuatu akan terjadi di rumah kita,” kata Nyai Minak Mampi.
Petinggi dan istrinya menggigil saat melihat batu hitam besar melayang-layang di udara diiringi pancaran sinar terang. ”Akhirnya kita berhasil membuka pintu rumah, Nyai,” seru Petinggi. Dari dalam kamar mereka mendengar suara kencang menyeru seperti suara orang yang sedang menantang berkelahi.
”Sambut mati babu, tiada sambut mati mama.”
Petinggi dan istrinya mengunci mulutnya rapat-rapat dan membuka telinganya lebar-lebar agar suara di luar jelas tertangkap. Berkali-kali kata-kata ’sambut mati babu, tiada sambut mati mama’ terdengar. Petinggi tak kuasa menahan diri. Dia memberanikan diri menyambut seruan itu dengan suara bergetar. ”Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus.” Kemudian terdengar lagi suara itu. ”Disambut mati babu, tiada disambut mati mama.” Kini Petinggi Jaitan Layar tanpa ragu-ragu lagi menjawab suara itu.
”Diulur mati lumus, tiada diulur mati lumus.”
Di luar rumah masih terdengar gelak tawa yang sangat dahsyat. Mereka terus terbahak-bahak seakan merasa puas karena mendapat sahutan dari dalam rumah Petinggi Jaitan
Layar. ”Akhirnya, tutur kata kita disambutnya. Gembira sekali kita, ya?” komentar suara-suara di luar. Nyai Minak Mampi dan suaminya ingin melihat batu besar yang sebelumnya melayang-layang di udara. Samar- samar batu besar mulai tampak lalu pelan-pelan mereka mendekati batu besar berwarna legam tersebut.
”Hah … batu besar berwarna hitam yang melayang- layang itu tadi jatuh dan menjadi kotak emas?” suara Nyai Minak Mampi penuh keheranan. Suami-istri Petinggi tidak menyadari akan kehadiran tujuh dewa tersebut. Mereka hanya merasa berhadapan dengan sebuah kotak mencorong berkilauan sinarnya. Petinggi membisikkan keinginan untuk membuka kotak itu kepada istrinya.
”Bagaimana jika kita memberanikan diri untuk membuka kotak ini?” kata Petinggi seolah meminta persetujuan istrinya.
”Asal niat kita baik, saya yakin sang Dewata akan merestui keingintahuan kita tentang isi kotak ini dan cara membukanya,” jawab istrinya merendah.
Alangkah terkejutnya Petinggi dan istrinya setelah melihat seorang bayi mungil diselimuti lampin berwarna kuning. Bayi itu seakan tersenyum kepada suami istri tersebut.
”Apa yang digenggam bayi ini, ya, Nyai?”
”Oh, tangannya yang sebelah menggenggam sebuah telur ayam dan tangan yang satunya memegang sebilah keris emas berkilauan. Keris tersebut merupakan kalang atau penyangga kepalanya,” bisik istrinya penuh kebahagiaan.
”Hai, orang baik, berterimakasihlah kepada sang Dewata karena doamu melalui semadimu dikabulkan. Kini kalian mendapatkan anugerah, yakni seorang anak, meskipun tidak melalui rahim istrimu. Bayi ini adalah keturunan dewa-dewa dari kayangan. Selama empat puluh hari empat puluh malam bayi ini harus dipangku berganti-gantian oleh kaum kerabat kalian. Bila engkau akan memandikan bayi ini, gunakanlah air yang diberi bunga-bunga wangi. Bila anakmu sudah beranjak besar, janganlah kaubiarkan menginjak tanah sebelum engkau mengadakan erau (pesta adat). Selanjutnya, injakkanlah telapak kaki anakmu pada rumput-rumput hijau yang tumbuh di halaman rumahmu. Selain itu, usap- usapkanlah telapak kaki anakmu ini secara pelan-pelan pada bulu binatang-binatang jinak yang ada di rumahmu.”
Petinggi dan istrinya dengan khidmat mendengarkan pesan sang Dewa. Dengan penuh bahagia mereka membawa masuk bayi itu ke dalam rumah.
Istri Petinggi merasa sedih bercampur menyesal karena dia tidak bisa menyusui sendiri bayinya.
”Apa yang dapat diharapkan lagi dari seorang perempuan yang sudah tua seperti saya untuk menyusui anaknya?”
”Hai, Nyai Petinggi Jaitan Layar, janganlah engkau bersedih karena engkau sebentar lagi akan dapat menyusui anakmu.”
”Terima kasih sekali Dewa. Paduka telah mengabulkan permintaan kami,” sahut Nyai Petinggi dengan senang.
Tiga malam bayi itu dalam pelukan Petinggi beserta istrinya. Pada hari ketiga itulah tali pusar bayi itu tanggal.
Peristiwa itu diberitakan oleh Petinggi kepada seluruh penduduk. Maka, ramailah seluruh penduduk menyambut tanggalnya pusar bayi Petinggi Jaitan Layar.
Sang Dewata masih senantiasa mengawasi bayi itu dan memberi petunjuk kepada Petinggi supaya bayinya diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti, sebuah nama yang sangat agung dan sangat ’berat’ jika nama itu disandang oleh bayi manusia biasa. Aji Batara Agung bertambah hari bertambah sehat dan bertambah menyenangkan hati setiap orang yang melihatnya.
Petinggi Jaitan Layar mempersiapkan upacara ’pijak tanah’ dan upacara erau (pesta adat) untuk mengantarkan sang anak mandi ke tepian kolam untuk pertama kalinya. Setelah upacara persiapan selesai, segera diadakan erau selama empat puluh hari empat puluh malam. Gamelan Gajah Perwata juga ditabuh terus-menerus tiada henti. Segala macam binatang ternak disembelihnya, baik yang jantan maupun yang betina untuk hidangan penduduk. Setelah upacara mandi selesai, para kerabat membawa kembali Aji Batara Agung ke dalam rumah Petinggi. Oleh para kerabat Petinggi, Aji Batara Agung dikenakan pakaian yang serba bagus dan indah seperti orang dewasa yang siap dinobatkan menjadi seorang raja.
Pakaian kebesaran telah dikenakan kemudian beramai-ramai Aji Batara Agung diarak lagi untuk dibawa ke tempat upacara. Aji Batara Agung dipayungi dengan payung agung yang sangat indah. Gamelan Gajah Perwata serta bunyi meriam ’Sapu Jagat’ mengiringi arak-arakan Aji Batara Agung. Penduduk tidak dapat menahan haru. Mereka tertegun karena baru sekali seumur hidupnya menyaksikan upacara yang serba unik dan agung.
Sesudah upacara selesai, pesta kembali dimulai. Makanan dan minuman disediakan untuk para penduduk. Pemuda dan pemudi menari-nari sebagai tanda syukur mereka karena upacara telah berlangsung dengan lancar. Pamer binatang yang sehat–sehat dan lucu juga tidak ketinggalan.
Hari berganti hari dan kehidupan di Jaitan Layar kembali seperti biasa. Setiap penduduk melaksanakan pekerjaannya masing-masing untuk mencari nafkah sehari- hari mereka. Negeri itu makin aman dan sentosa semenjak hadirnya Aji Batara Agung di bumi Jaitan Layar. Aji Batara Agung semakin gagah, dewasa, dan berwibawa sehingga setiap orang yang memandangnya pasti akan sayang kepada Aji Batara Agung.
Di lain negeri seluruh penduduk Kampung Melanti hidup rukun meskipun mereka serba kekurangan. Meskipun miskin, di kampung itu tidak pernah ada kejadian atau keributan sekecil apa pun. Seluruh penduduk hidup damai dan saling tolong di antara mereka. Petinggi Kampung Melanti itu biasa dijuluki Petinggi Hulu Dusun.
Tepat hari ketujuh Petinggi Hulu Dusun dan istrinya, Babu Jaruma, merasakan sekujur tubuhnya semakin lemas karena perut mereka tidak terisi makanan. Dalam kelunglaian itulah Petinggi Hulu Dusun dan istrinya berusaha mencari sisa-sisa makanan yang mungkin masih bisa dimanfaatkan untuk penyambung hidup mereka.
Petinggi dan Babu Jaruma senang bukan kepalang seolah mendapatkan durian runtuh. Mereka seperti layaknya anak kecil bersorak-sorak karena sang Dewata masih mau menolongnya memberi bahan makanan. Akan tetapi, kegembiraan itu tidak lama karena saat bahan makanan itu akan dimasak, sepotong kayu pun tak mereka temukan untuk memasak. Ketika Petinggi mendongakkan kepalanya ke atas, terlihat olehnya kayu-kayu kaso atap rumahnya.
”Apa boleh buat, suamiku. Bahan makanan telah kita dapatkan. Sekarang kayu juga sudah kita temukan, tapi ingat,
satu kayu kaso saja yang bisa kaupotong supaya rumah ini tidak roboh. Ayo, lakukanlah daripada kita kelaparan.”
Petinggi tidak berpikir panjang lagi lalu mengambil parang kemudian memotong salah satu kayu kaso rumah mereka dan segera membelah-belahnya menjadi beberapa potong. Tiba-tiba dari salah satu belahan kayu itu terlihat seekor ular kecil melingkar dan memandang Petinggi dengan sorot matanya yang halus seakan-akan minta perlindungan, minta dikasihani, dan minta dipelihara.
”Baiklah, ular yang baik. Istriku memintaku untuk mengambilmu dan memeliharamu di tempat sirihnya. Apakah engkau setuju?” tanya Petinggi kepada ular kecil itu, tanpa menunggu jawaban.
Tatkala ular kecil itu mulai diambil, keajaiban pun timbul dengan tiba-tiba. Alam yang mulanya memburuk berubah menjadi cerah. Cahaya matahari memancarkan cahayanya menyedot sisa-sisa air hujan yang membanjiri bumi berhari-hari. Pelangi juga bersedia menghiasi alam dengan warna-warninya. Bunga-bunga kelihatan mekar berseri seakan menantang pemuda dan pemudi Kampung Melanti untuk menikmati keindahan alam.
Ada kesibukan baru Babu Jaruma, yakni memelihara seekor ular kecil. Diberinya ular itu makan tiga kali sehari layaknya manusia biasa. Setiap saat dibelainya dengan penuh rasa kasih sayang. Tak lupa juga ular itu diajaknya bermain-main seperti anak kecil yang lain. Pendeknya, ular itu menjadi perhatian utama Babu Jaruma. Petinggi Hulu Dusun tidak merasa cemburu dengan kegiatan baru istrinya yang sangat menyita waktu itu. Ular bertumbuh dengan cepat dan sangat bagus. Ular tampak sangat cerdik.
”Tempat sirihku sudah tak muat lagi untuk tubuh ular ini. Tolong buatkan kandang yang agak besar supaya dia bisa bergerak agak bebas,” pinta Babu Jaruma kepada suaminya.
Petinggi dengan senang hati membuatkan kandang yang agak besar untuk ular kesayangannya.
”Benar juga, ya, Nyai. Kuperhatikan ular kita sangat cepat berkembang. Tubuhnya sehat pula. Baiklah akan kubuatkan kandang yang besar untuknya agar dia bisa agak lama menempati kandangnya.”
Kandang itu besarnya hampir setengah dari ruang tengah rumah Petinggi. Kandang itu diletakkan di rumah bagian atas semacam loteng. Ular tersebut dipindahkan di kandang barunya dan terus dipelihara dengan telaten dan penuh kasih sayang oleh Babu Jaruma.
”Nyai, apakah yang akan terjadi jika naga kita terus bertumbuh semakin besar? Saya tak tahu lagi harus bagaimana. Jangan-jangan …,” kata-kata Petinggi tidak dilanjutkan lagi.
”Benar, suamiku. Bahkan, saya juga berpikir jika naga ini sampai tumbuh terus dan menyesaki rumah tinggal kita bagaimana?” sahut istrinya. ”Lama kelamaan aku menjadi takut meskipun setiap hari akulah yang memeliharanya dan membelainya sejak dia sebagai seekor ular kecil sampai menjadi seekor naga seperti sekarang ini,” tambah Babu Jaruma.
”Sudahlah, Nyai, kita hilangkan saja perasaan takut kita. Saya akan memohon kepada sang Dewata agar kita diberi jalan keluar yang terbaik. Sebenarnya aku juga amat menyayangi naga kita, tetapi jika melihat wujudnya yang semakin besar itu, saya jadi takut juga.”
Pada suatu malam Petinggi Hulu Dusun tidur di samping naganya. Dalam tidurnya Petinggi bermimpi seolah dia bertemu dengan seorang gadis yang sangat molek dengan deretan gigi yang amat rapi saat gadis itu tertawa. Sungguh manis gadis tersebut. Gadis itu dengan ramah menyapa Petinggi.
”Ya, Ayah dan Bundaku tersayang. Ananda sekarang sudah besar sehingga membawa ketakutan yang luar biasa bagi Ayah dan Bunda serta penduduk di kampung ini. Agar tidak mengganggu ketenteraman penduduk kampung ini, sebaiknya ananda pergi saja ke tempat yang sangat jauh. Untuk itu, ananda minta tolong dibuatkan sebuah tangga supaya ananda bisa meluncur ke bawah.”
Petinggi terbangun lalu duduk tertunduk. ”Ya, sang Dewata …,” keluh Petinggi. Apakah saya sedang bermimpi?”
Hari beranjak terang. Petinggi membuka mata lalu bangun, tetapi dia tidak menemukan istrinya lagi di sisinya. Babu Jaruma didapatinya di dapur sedang menyiapkan sarapan pagi mereka. Ia berusaha mengingat-ingat mimpinya semalam karena Petinggi ingin menceritakan mimpinya yang seolah benar-benar terjadi.
”Mengapa engkau seperti orang bingung, suamiku?” tanya Babu Jaruma.
Petinggi Hulu Dusun tampak seperti orang bingung. Kecamuk pikiran membias di wajahnya. Ia memperhatikan pertanyaan istrinya lalu pelan-pelan menjawabnya.
”Aku akan bercerita tentang mimpiku semalam kepadamu, Nyai. Aku bahkan akan menceritakan mimpiku kepada sanak saudara kita agar mereka membantu kita mencarikan jalan keluar yang baik.”
”Ya, cepatlah engkau bercerita, Suamiku. Aku juga penasaran ingin mendengarkan kisah dalam mimpi itu,” pinta Babu Jaruma.
”Ternyata, kita mempunyai seorang anak wanita yang amat elok rupanya. Giginya berderet rapi ketika dia tersenyum kepada kita. Anak kita minta pertolongan agar dibuatkan tangga untuk dituruninya. Dia juga minta tangga itu diletakkan di sisi kandangnya,” cerita Petinggi.
”Maksudmu naga kita?” tanya Babu Jaruma. ”Lho, kalau begitu, naga itu jangan-jangan wujud lain dari seorang wanita yang dianugerahkan sang Dewata kepada kita, suamiku?” desak istri Petinggi.
”Belum … kita belum tahu, Nyai. Kita tunggu saja perkembangan berikutnya,” balas Petinggi.
Hari itu sanak saudara telah berkumpul dan mereka membuatkan tangga yang kuat sebagai tempat meluncur naga. Sesuai dengan permintaan anaknya di dalam mimpi Petinggi, tangga itu dipasangnya di dekat pintu keluar. Petinggi pun tersenyum tatkala melihat tangga telah selesai dan tampak kuat sekali. Petinggi berjalan ke arah tangga lalu membisikkan kata-kata kepada naga.
”Hai, Anakku, tangga permintaanmu telah kami buat dan sekarang telah selesai. Silakan engkau menuruninya dan hati-hatilah supaya engkau tidak jatuh.”
Saat itu sang naga masih tertidur, tetapi ia segera membuka matanya dan mulai menggerakkan tubuhnya tatkala mendengar Petinggi membisikkan kata-kata itu. Aba-
aba diberikan Petinggi kepada naga itu agar naga meluncur pelan-pelan ketika hendak turun. Akan tetapi, baru dua anak tangga dituruninya, tiba-tiba naga mengurungkan niatnya untuk menuruni tangga berikutnya karena dua anak tangga itu berpatahan. Sang naga buru-buru menarik kembali kepalanya dan melingkarkan tubuhnya kembali di tempat semula.
Tangga baru dari bahan kayu ulin dibuat lagi. Begitu tangga itu selesai dibuat secara beramai-ramai, lima orang laki-laki mengangkat tangga itu dan ternyata tangga tetap tidak terangkat. Ketika tangga itu diangkat sambil digeser oleh delapan laki-laki, barulah tangga itu bisa disandarkan di dekat pintu.
”Anakku, sudah bangunkah engkau?” sapa Petinggi dengan lembut. ”Cobalah turuni tangga itu jika Engkau akan pergi dari rumah ini.”
Sang naga membuka matanya dengan memelas. Dijulurkannya kepalanya terlebih dahulu baru kemudian tubuhnya yang amat besar itu digerakkannya perlahan- lahan. Kali ini agak lumayan kekuatan tangga baru itu karena sudah tiga anak tangga diluncuri masih selamat. Akan tetapi, tak diduga-duga, ketika naga itu hendak meluncur ke anak tangga berikutnya, hancurlah tangga itu karena tidak dapat menahan berat badan sang naga.
”Ayahanda dan Ibunda, saya telah merepotkan kalian. Buatkanlah sekali lagi tangga dari kayu lampung, sedangkan anak tangganya hendaknya dibuat dari bambu yang diikat dengan akar lembiding. Jangan coba-coba membuat tangga dari besi karena tidak akan kuat menahan tubuhku, dan janganlah lupa, bilamana ananda sudah dapat turun ke tanah, hendaknya Ayah dan Bunda mengikuti ke mana saja ananda merayap. Ananda juga minta agar Ayah membakar wijen hirang serta taburi tubuhku dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan menenggelamkan diriku ke dalam air, ananda harapkan agar Ayah dan Bunda mengiringi buihku.”
Berkat ketekunan sanak saudara dalam mengerjakannya, akhirnya selesai juga tangga terbaru dan terkuat yang pernah mereka kerjakan. Petinggi segera mendekati sang naga sambil membisikkan kata-katanya.
”Anakku, marilah turuni tangga yang telah kami buat ini berdasarkan petunjukmu! Ayahmu akan membimbingmu pelan-pelan.”
Sang naga pun mengangkat kepalanya kemudian merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah. Setelah sampai di tanah, naga berhenti sejenak untuk menata kembali napasnya. Semua orang tertegun bercampur terharu ketika menyaksikan sang naga merayapi tangga yang mereka buat. Mereka merasa senang, puas, dan bangga karena dapat membuat tangga sekuat itu. Sebelumnya mereka tidak pernah membayangkan dapat membuat tangga sekuat itu. Selain itu, mereka juga baru kali itu melihat seekor naga sebesar itu.
Perlahan-lahan sang naga merayap ke tanah dengan diiringi oleh Petinggi Hulu Dusun dan Babu Jaruma. Sang naga hendak menuju sungai. Sang naga mencari-cari ke mana arah sungai yang dimaksudkan. Ayahanda dan ibundanya hanya diam, tetapi tetap mengikuti ke mana pun arah sang naga merayap. Akhirnya, naga menemukan sungai besar dan dalam. Air sungai itu sangat keruh sehingga terkesan angker.
Sang naga berhenti sejenak sebelum dia menceburkan tubuhnya ke dalam air sungai. Setelah sampai di air, berenanglah sang naga kian kemari. Pertama-tama sang naga berenang ke hulu kemudian berenang melalui tepian batu dan menuju ke hilir bolak-balik sebanyak tujuh kali. Di tempat itu sang naga berenang tiga kali ke kiri kemudian tiga kali ke kanan dan selanjutnya menyelam.
Dengan perahu yang ditumpanginya Petinggi beserta istrinya mengikuti ke mana pun sang naga bergerak. Akan tetapi, ketika sang naga menyelam ke dasar sungai, Petinggi hanya diam tak mampu mengikuti menyelam. Di dalam perahu Petinggi bersama istrinya menunggu peristiwa apalagi yang akan terjadi.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba angin topan pun bertiup dengan dahsyatnya, kilat sabung-menyabung sangat mengerikan, guntur berdentuman melebihi dahsyatnya suara meriam. Gelombang besar mempermainkan perahu Petinggi. Petinggi dengan istrinya berkayuh sekuat tenaga untuk mencapai tepi sungai. Mereka berusaha supaya tidak tenggelam digulung gelombang raksasa.
Akhirnya, Petinggi beserta istrinya berhasil mencapai tepian. Mereka bernapas lega mungkin karena sang Dewata telah menyelamatkannya. Bersamaan dengan sampainya Petinggi di tepian sungai, seketika itu pulalah keadaan alam yang bagaikan kiamat itu dengan tiba-tiba mereda. Yang terdengar hanyalah suara rintik hujan, suara angin lembut bertiup, dan sayup-sayup suara guruh. Teja juga menampakkan diri di langit keabu-abuan. Pelangi rela membentang ke bumi dengan warna-warni yang cerah dan menyegarkan. Mereka amat terpesona menyaksikan keindahan alam yang belum pernah dijumpainya selama hidup mereka.
”Ke manakah sang naga kita?” tanya Babu Jaruma bertubi-tubi kepada suaminya.
Pada saat suami istri tersebut termenung memikirkan anaknya itu, tiba-tiba Sungai Mahakam penuh dengan buih. Sejauh-jauh mata mereka memandang ke sungai itu, buih belaka yang terlihat. Demikian pula di sekitar perahu yang ditumpanginya tidak kelihatan air lagi. Seakan-akan mereka berlayar di atas buih yang memutih.
Pada saat Petinggi sedang berusaha mengayuh perahunya itu tiba-tiba terdegar seperti tangis bayi yang baru saja dilahirkan.
”Suara apakah itu, Suamiku?” tanya Babu Jaruma kepada suaminya.
Babu Jaruma segera memberitahukan apa yang dilihatnya kepada suaminya.
Kemudian, mereka mengayuhkan perahunya menuju kemala itu. Setelah perahu makin mendekat, jelaslah bahwa apa yang dilihat itu ternyata bukanlah sebuah kemala, melainkan seorang bayi yang bercahaya-cahaya terbaring di dalam gong besar.
Kedua suami istri itu mengamat-amati gong besar itu. Tiba-tiba gong meninggi dan tampaklah seekor naga menjunjung gong berisikan bayi itu. Gong semakin tinggi dijunjung naga. Ketika gong dan naga meninggi naik di permukaan air, terlihatlah seekor lembu yang menjunjung naga itu. Lembu itu berjejak di atas sebuah batu.
Inilah ”Lembu Suana” yang berbelalai gading seperti gajah, bertaring serupa macan, bertubuh bagai kuda, bersayap, dan bertaji seakan-akan burung garuda, berekor seperti naga, dan seluruh batang tubuhnya bersisik.
”Apakah bayi yang terbaring di dalam gong besar itu adalah bayi keturunan Dewata yang dikirim ke dunia untuk kami pelihara sebagai pengganti naga yang telah kami pelihara dengan kasih sayang?” tanya suami istri itu di dalam hatinya.
Petinggi segera merapatkan perahunya pada batu pijakan Lembu Suana. Kemudian dengan perlahan-lahan batu itu tenggelam beserta Lembu Suana dan sang naga sampai akhirnya yang tertinggal hanyalah gong berisikan bayi dari kayangan itu. Tampak tangan kanan bayi itu menggenggam emas, sedangkan tangan kirinya menggenggam sebuah telur. Tiba-tiba telur dalam genggaman bayi itu pecah dan keluarlah seekor anak ayam. Sungguh rentetan peristiwa ajaib yang disaksikan oleh Petinggi beserta istrinya.
Perjalanan Petinggi beserta istrinya dengan menggendong bayinya akhirnya tiba dengan selamat di rumah mereka. Rasa syukur senantiasa mereka panjatkan kepada sang Dewata atas anugerah yang telah dilimpahkan
kepada keluarga Petinggi itu. Karena bayi itu menangis terus, terbersit kesedihan di wajah Babu Jaruma karena dia tidak mampu menyusui sendiri bayinya. Saat itulah terdengar suara ditujukan kepada Babu Jaruma.
”Hai, Babu Jaruma, janganlah engkau bersusah hati.
Susuilah bayimu!”
Ketika mendengar suara tegas itu, Babu Jaruma berusaha menyusui bayinya dan ia berhasil.
”Hai, Babu Jaruma yang berbahagia. Peliharalah anakmu itu dengan sebaik-baiknya dan berilah dia nama Putri Karang Melenu. Putri ini adalah keturunan Dewa-Dewa di kayangan. Dengarkanlah baik-baik pesanku kepadamu, cara engkau seharusnya memelihara Putri ini. Selama empat puluh hari empat puluh malam janganlah engkau baringkan Putri Melenu ini di tikar. Jika tali pusarnya telah putus, perlakukanlah dia seperti anak dari para raja yang berkuasa di alam maya ini. Bilamana sang Putri untuk pertama kalinya ingin mandi di sungai, hendaklah engkau adakan erau (upacara adat) dan upacara ’pijak tanah’, barulah sesudah itu sang Putri dapat dijalankan di tanah.”
Tiga hari sudah sang bayi dalam asuhan keluarga Petinggi Hulu Dusun. Hari ketiga itulah pusar sang bayi tanggal. Untuk memenuhi persyaratan yang telah disampaikan para Dewa diadakanlah erau yang sangat meriah.
”Saudaraku sekalian, kami perlu mengumumkan nama bayi kami ini kepada kalian semua. Sesuai dengan pesan yang diperoleh istri saya di dalam mimpinya, bayi ini diberi nama Putri Karang Melenu,” sambutan Petinggi Hulu Dusun kepada warganya.
Pesta adat di Kampung Melanti berkenaan dengan putusnya tali pusar dan pemberian nama Putri Karang Melenu sebenarnya bersamaan waktunya dengan upacara serupa yang diadakan Petinggi Jaitan Layar pada saat tanggalnya tali pusar dan pemberian nama terhadap anaknya Aji Batara Agung.
Kedua anak kiriman dari para Dewa di kayangan untuk Petinggi Jaitan Layar dan Petingi Hulu Dusun sama-sama bertumbuh besar. Kedua anak-anak keturunan Dewa itu dipelihara sama-sama dengan cermat. Ramuan obat-obatan juga disediakan untuk menjaga agar anak-anak dewata itu tetap dalam keadaan sehat walafiat. Semua tetangga negeri yang berdekatan dengan Petinggi Hulu Dusun, seperti negeri Binalu, Sembaran, Penyuangan, Senawan, Sanga-Sangaan, Kembang, Sungai Samir, Dundang, Manggar, Sambuni, Tanah Merah, Susuran Dagang, dan Tanah Malang tidak terlupakan juga diundang untuk menghadiri sekaligus menyaksikan pesta ’pijak tanah’ Putri Karang Melenu kiriman sang Dewata dari kayangan.
Persamaan rentetan peristiwa upacara yang terjadi di kedua negeri itu disaksikan oleh para Dewa di kayangan. Para Dewa menyaksikan jalannya semua upacara di Hulu Dusun dan di Jaitan Layar dengan gembira karena semua cara yang dipesankan kepada kedua Petinggi dalam memelihara Putri Karang Melenu dan Aji Batara Agung Dewa Sakti dilaksanakan dengan tiada satu kesalahan atau kekeliruan pun. Untuk itu, para Dewa di kayangan merasa puas.
Putri seolah mengerti dan memahami rentetan upacara tersebut untuk dirinya. Hal ini terbukti bahwa Putri Melenu tidak rewel. Bahkan, ia tampak riang dan menikmati upacara tersebut. Putri tersenyum-senyum ketika didudukkan di atas wadah senjata sebelum ia dibawa masuk kembali ke dalam rumah dengan iringan penduduk yang riang gembira.
Kegelisahan seperti itu pantas saja dirasakan oleh Babu Jaruma sebagai ibu Putri Karang Melenu di bumi. Anak itu adalah kiriman sang Dewata yang belum dijamin oleh orang biasa bahwa anak itu akan kembali ke kayangan dengan begitu saja atau akan tetap dipelihara oleh ibundanya sampai waktu tertentu. Penantian panjang itu berakhir dengan melegakan karena mereka melihat arak-arakan orang membawa sebuah payung agung dengan iringan gamelan yang amat ramai. Pikiran Babu Jaruma hanya satu.
”Itukah anakku, Putri Karang Melenu?”
Arak-arakan telah sampai di depan balai rumah Babu Jaruma. Dengan raut wajah sumringah disambutnya bayinya.
Dia membimbing bayinya keluar dari wadah senjata, tempat bayi itu ditidurkan. Seolah mengerti, bayi itu membuka matanya dan seolah mengucap salam kepada ibundanya.
Tujuh tempayan berisi air dari tujuh sungai telah terisi. Babu Jaruma segera memandikan sang Putri. Setelah selesai, sang Putri segera dibawa ke sungai untuk dimandikan.
Upacara mandi di sungai telah selesai. Putri tidak tampak kelelahan. Setelah semuanya selesai, tampak wajah sang Putri semakin bersinar bertambah menawan hati. Senyumnya sangat memesona pada setiap orang yang melihatnya. Sinar matanya memberikan cahaya kehidupan bagi mereka yang menatapnya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun terus berganti. Putri Karang Melenu sudah mulai besar dan lebih dewasa dari usia sebenarnya.
”Wahai, Ayah dan Ibu, suruhlah semua orang-orang ini untuk segera naik ke mahligai terlebih dulu dan diikuti oleh Ayah dan Ibu. Aku akan menyusul seorang diri.”
Petinggi Hulu Dusun berkata kepada Putri Karang Melenu, ”Wahai, anakku, tidaklah pantas jika Engkau berjalan sendirian ke mahligai tanpa diiringi oleh kedua orang tuamu dan inang pengasuhmu serta para undangan lainnya.”
”Turuti sajalah perkataanku ini, wahai Ayah,” kata sang Putri.
Maka, berangkatlah semua undangan dengan diantar
oleh Petinggi Hulu Dusun bersama istrinya ke mahligai.
Sesudah Putri Karang Melenu tinggal sendirian, dibakarlah dupa setanggi dan kemudian dihamburkanlah beras kuning sebanyak tiga kali disertai pembacaan doa- doa. Dengan selesainya sang Putri menghamburkan beras kuning, tiba-tiba muncullah Lembu Suana entah dari mana datangnya. Saat itu juga Putri Karang Melenu berkata dengan lembutnya.
”Hai, Lembu Suana, bawalah aku naik ke atas mahligai!”
Lembu Suana pun menjawab, ”Perintah Andika, patik junjung!”
”Rendahkanlah kepalamu, aku hendak naik!” pinta Putri Karang Melenu.
Lembu Suana terbang membawa Putri Karang Melenu dari balai ke mahligai di bawah warna-warninya pelangi, sehingga kecantikan sang Putri terlihat semakin bertambah- tambah. Tercenganglah semua orang yang berada di mahligai melihat Putri yang disambut oleh ayah dan ibunya. Kemudian Putri didudukkan di Mandargili. Semua tamu sudah mengelilingi Mandargili. Selepas mengantar Putri Karang Melenu, Lembu Suana masih menunggu perintah sang Putri.
”Lembu Suana menghilanglah segera dari mahligai ini. Banyak tamu yang terpukau kepadamu dan kepadaku. Nanti sewaktu-waktu jika kuperlukan lagi, kuundang engkau,” kata Putri Karang Melenu. Para Dewata di kayangan tampaknya memperhatikan warga Petinggi Hulu Dusun.
”Aneh-aneh saja kelakuan penduduk Hulu Dusun ini sejak mereka melihat pesona Putri Karang Melenu. Kasihan juga mereka jika terus-menerus seperti ini. Mereka bisa gila dan rusaklah tata aturan dan adat istiadat yang selama ini telah mapan,” kata sang Dewata.
Pada suatu hari, Aji Batara Agung memandikan tubuhnya dengan buah limau purut tiga serangkai dan melangir dengan ramuan pewangi ke seluruh tubuhnya. Panakawannyalah yang mencarikan buah limau purut tersebut. Setelah Aji mandi bersih, tubuh Aji Batara kelihatan putih bersih dan berbau wangi.
”Aji Batara, Ibu telah memasak makanan kesukaanmu.
Mari kita makan bersama dan panggil sekalian ayahmu.”
Mereka bertiga makan bersama dengan lauk istimewa kesukaan Aji Batara Agung. Ayahandanya menanyakan keadaan Aji dan keinginannya dalam waktu dekat, yakni pergi ke Majapahit. Untuk itu, senyampang ayahandanya bertanya masalah itu, Aji sekalian minta izin kepada orang tuanya.
”Silakan engkau pergi berjalan-jalan ke mana pun engkau suka asalkan disertai pengawal. Ayahmu sangat khawatir akan keselamatanmu. Mengertilah, Anakku.”
Dini hari hampir tiba. Aji Batara Agung belum ingin memejamkan mata. Dia terusik ingin membuka lontar pertenungan, yakni semacam lontar yang berisi peramalan nasib dan lain sebagainya. Lontar dibolak-balik untuk mendapatkan isyarat waktu yang baik untuk melakukan perjalanan jauh. Lembar demi lembar lontar dilihat.
Ketika itu Aji Batara Agung mendapatkan isyarat waktu yang baik untuk perjalanannya ke Majapahit dan juga ingin mengetahui negeri tempat jodohnya berada. Negeri demi negeri dilihatnya dalam lontar itu, tetapi tak suatu pun tanda yang memperlihatkan jodoh yang ingin dilihatnya dalam lontar. Aji Batara Agung hampir putus asa. Tiba-tiba ada sebuah suara tertuju kepada Aji Batara Agung.
”Aji, bukalah terus lontar itu. Janganlah engkau berputus asa. Pada lembar tertentu akan tampak sinar terang. Nah, amatilah di bagian itu.”
Aji terkejut, tetapi tetap tenang karena jawaban tentang keingintahuannya akan segera terwujud. Aji membuka kembali lontar yang sebelumnya telah ditutup.
Dalam kegelisahan yang sangat ini Aji Batara Agung tertidur. Tidurnya pun nyenyak sekali. Dalam tidurnya Aji Batara Agung bermimpi. Dalam mimpinya Aji seolah-olah diterkam oleh seekor beruang berekor kuning. Aji terkejut kemudian bangun dan segera loncat untuk mengambil keris miliknya. Sambil berteriak ’beruang, beruang, beruang’ Aji menikamkan kerisnya ke ulu, ke atas, ke bawah, sehingga apa saja yang terkena tikaman keris Aji, pasti tembus. Apalagi, ruang Aji tidur sangat gelap tak ada sinar sedikit pun masuk ke dalam ruang tidurnya.
”Apa yang terjadi? Mengapa kamar ini gelap gulita dan sepi-sepi saja?” celetuk seorang punakawan. Salah seorang dayang terbirit-birit membawa penerang ruangan.
Semuanya tidak habis pikir apa yang sedang terjadi di kamar momongannya. Kenyataannya Aji Batara Agung masih tertidur, tetapi memang dahinya tampak berkerut-kerut.
Aji bercerita tentang mimpinya semalam kepada ibundanya, Nyai Petinggi Jaitan Layar.
”Menurut Ibu, makna mimpimu itu adalah sebuah isyarat bahwa engkau harus segera menikah,” jawab Nyai Petinggi Jaitan Layar.
”Sejujurnya, Ibu, memang itulah yang kuharapkan, tetapi hendaknya bakal istriku kelak adalah wanita yang sederajat denganku dan yang pasti dia haruslah turunan dari kayangan,” jawab Aji Batara Agung Sakti sambil tersenyum.
”Kalau demikian halnya, aku akan menunda kepergianku ke Majapahit karena aku akan mencari negeri yang menyimpan gadis untuk jodohku. Aku sama sekali tidak
tahu di mana negeri itu, tetapi aku akan berusaha menemukannya. Jika gadis itu berada di gunung, gunung itu akan kudaki. Jika gadis itu berada di laut, laut itu akan kulayari dan jika gadis itu berada di cakrawala, aku akan melayang ke sana.”
Keesokan harinya, Aji Batara Dewa menyuruh dua punakawannya mencari limau purut untuk mandi. Ia juga menitipkan ayam jagonya kepada mereka.
Kedua punakawan itu berusaha memenuhi permintaan Aji Batara Agung. Keduanya berkeliling di sekitar dusun.
Sesuai dengan permintaan Aji Batara Agung, ayam jago milik Aji Batara Agung dibawa serta mereka karena ayam jagonya sudah besar, bagus bulunya, sehat, gagah, serta panjang jalunya. Jadi, sayang jika ayam jagonya ditinggalkan di rumah. Kedua punakawan itu terus berjalan sambil bernyanyi-nyanyi untuk menghibur diri. Punakawan yang satunya membopong ayam jago Aji Batara Agung sambil mengkhayal tentang Aji Batara Agung yang akan segera memasuki gerbang perkawinan. Karena terlalu asyik mengkhayal, punakawan lengah dan bopongannya melonggar sehingga ayam meloncat jauh. Ayam jago itu berkokok. Kedua punakawan terbengong beberapa saat tidak bergerak dan ketika mereka sadar, barulah keduanya menangkap ayam jago milik Aji Batara Agung, tetapi ayam berlari. Mereka mengejarnya. Ayam semakin jauh berlari.
Jauh nian kedua punakawan itu berjalan untuk membuntuti ayam jago kesayangan Aji Batara Agung. Keduanya sangat kelelahan, tetapi mereka tidak berani berhenti beristirahat karena jika mereka beristirahat, ayam akan semakin tak terlihat oleh mereka. Tak terduga ayam jago itu masuk di sebuah dusun bernama Dusun Melanti negeri Hulu Dusun. Ayam jago Aji Batara Agung memasuki sebuah pekarangan rumah nan luas dan terbang ke atas lalu bertengger di dahan pohon limau. Kedua punakawan itu mengikuti dan legalah keduanya karena buah limau yang dicarinya itu ada di depan mata mereka.
”Inilah buah limau purut bertangkai-tangkai yang kita cari,” kata seorang punakawan dengan wajah berseri-seri.
Mereka pun segera memanjat pohon limau untuk memetik buahnya sekaligus menangkap ayam jago kesayangan Aji Batara Agung Sakti. Akan tetapi, ayam itu segera terbang ke tanah dan berlari-lari mengelilingi halaman rumah itu. Punakawan yang satunya berusaha menangkapnya, tetapi ayam semakin beringas tak mau menurut. Tiba-tiba ayam berhenti dan segera melompat memasuki sebuah kandang yang sengaja dibuka oleh yang empunya kandang. Kandang ayam tersebut terletak di bawah rumah.
”Limau purut telah didapat. Ayam telah di kandang. Apalagi?” kata kedua punakawan tersebut. Kemudian mereka permisi memasuki rumah sang empunya kandang.
”Permisi … permisi.”
”Siapa di luar?” jawab yang di dalam rumah.
Kedua punakawan tersebut terpukau saat melihat gadis yang sangat cantik itu yang tak lain adalah Putri Karang Melenu.
”Sangat luar biasa cantiknya gadis ini,” kata kedua punakawan dalam hatinya.
”Ada apakah kalian datang ke sini”? tanya Putri Karang Melenu kepada para punakawan.
”Kalau perbuatan kami berdua ini dianggap salah, kami dengan ikhlas bersedia menerima hukuman apa saja yang Tuan Putri jatuhkan atau kami bersedia membayar harga limau purut itu sepatutnya,” pinta punakawan kepada sang Putri Karang Melenu.
Berkatalah sang Putri Karang Melenu kepada kedua punakawan itu dengan lembutnya, ”Limauku itu tidak dapat dihargai dengan barang apa pun. Biar emas sekalipun, tetap tidak bisa. Yang kuminta hanyalah kembalikan saja limau itu kepadaku. Selanjutnya, kuminta kepada kalian berdua agar jangan menceritakan kepada siapa pun tentang perjumpaan kalian dengan aku. Kusumpahi kalian bilamana kalian bercerita kepada siapa pun juga tentang perjumpaan ini.” Kedua punakawan itu menyahut perkataan sang Putri Karang Melenu, tetapi tidak jelas apa yang dibicarakannya. ”Karena hari telah malam, engkau berdua bermalam di sini saja,” kata sang Putri.
Kedua punakawan itu dengan gembira menerima tawaran Putri Karang Melenu. Malam itu kedua punakawan merasa sangat tersanjung. Keduanya tidak pernah bermimpi akan punya lakon seperti itu. Seribu macam perasaan campur aduk menjadi satu. Para dayang dengan setia melayani tamu sang Putri Karang Melenu. Segala macam hidangan disuguhkan malam itu. Panakawan itu tidak malu-malunya menyantap semua hidangan yang terhidang. Mereka puas- puaskan makan di rumah Putri Karang Melenu.
Putri Karang Melenu belum merasa mengantuk malam itu. Ada saja pekerjaan yang dikerjakannya. Sebentar dia duduk sebentar kemudian dia pegang pekerjaan lain. Kedua punakawan tak pernah tertinggal mengamati tingkah laku sang Putri semalaman walaupun sekejap. Lama kelamaan keduanya membandingkan perangai sang Putri dan perangai Aji Batara Agung. Menurut pertimbangan kedua punakawan itu, antara Aji Batara Agung Sakti dan Putri Karang Melenu tidak terdapat perbedaan perangai sehingga mereka berpendapat jika keduanya bisa bertemu dan menjadi suami istri, alangkah indahnya. ”Mereka adalah pasangan yang serasi dan pasti mereka akan hidup berbahagia jika bisa menyatu,” celetuk salah satu punakawan pelan-pelan karena takut terdengar.
Keesokan harinya mereka berencana pulang ke Jaitan Layar.
”Wahai, sang Putri, izinkan kami mengambil ayam jago Aji Batara Agung yang kemarin masuk ke kandang ayam di bawah rumah ini.”
”Tiada kuberikan ayam itu kepada kalian karena ayam jago itu sudah kawin dengan ayam betinaku yang ada di dalam kandang itu,” kata sang Putri.
”Jika kami tidak membawa ayam jago itu, kami akan mendapat murka dari Aji!” sahut salah seorang punakawan.
”Sudah adatnya ayam jantan mengiringi ayam betina. Jadi, biarkanlah ayam jago itu tinggal di sini,” demikian ujar sang Putri dengan tegas.
”Baiklah, Putri. Jika memang demikian, kami tidak dapat menepati janji kami. Bilamana nanti Aji bertanya tentang ayamnya tentu saja kami akan menceritakan kepada Aji bahwa Putri melarang kami membawa pulang ayam tersebut,” ujar kedua punakawan itu bergantian.
Kedua punakawan itu pun mundur dan menundukkan kepala kemudian berangkat berjalan kembali ke negeri Jaitan Layar. Tidak banyak percakapan terjadi di antara kedua punakawan itu. Keduanya tampak sibuk dengan pikirannya masing-masing. Yang satu sibuk menyusun kata-kata apa yang pantas dikemukakan kepada Aji tentang ayam jagonya. Yang lainnya bingung karena tiada setangkai pun limau purut dibawanya ke Jaitan Layar. Sejujurnya kedua punakawan itu ketakutan.
Beberapa saat kemudian kedua punakawan itu telah memasuki negeri Jaitan Layar. Mereka tergesa-gesa masuk rumah Aji Batara Agung sambil memberi salam kepada seisi rumah.
”Ke mana saja kalian, hai, Punakawan? Kausimpan di mana ayam kesayanganku?” tanya Aji Batara Agung dengan berang karena ayam jagonya tak tampak dalam gendongan punakawannya.
Seketika itu meronalah muka Aji Batara Agung. Marahnya memuncak. Seluruh tubuh kedua punakawan itu gemetaran. Karena takut mendapat ganjaran berupa hukuman mati, kedua punakawan itu memberanikan diri bercerita secara panjang dan lebar tentang apa saja yang dialaminya selama meninggalkan rumah Aji Batara Agung untuk memenuhi permintaan tuannya itu mendapatkan limau purut.
”Maafkanlah kami, Tuan, atas keterlambatan kedatangan kami. Kami telah berusaha mencari buah limau purut lima setangkai atau tujuh setangkai itu sampai ke dusun-dusun lain di negeri ini bahkan sampai ke negeri orang. Kami telah sampai ke Dusun Melanti negeri Hulu Dusun. Apakah Aji Batara masih berkenan mendengarkan cerita kami?”
”Teruskan saja cerita kalian, kudengarkan dengan baik,” jawab Aji Batara Agung datar.
”Baiklah. Saat itu terus terang kami tengah mencari- cari pohon limau purut sambil mengkhayalkan perkawinan Paduka. Karena terlalu asyik berkhayal, lepaslah ayam jago yang sedang saya bopong. Kami terpaksa mengejar ayam itu sampai ke tempat yang sangat jauh.
Singkat cerita, ayam jago masuk di sebuah pekarangan yang amat luas. Kami juga ikuti ayam masuk ke halaman rumah tersebut. Tiba-tiba ayam jago turun ke kandang yang berada di bawah rumah. Ayam itu masuk dan tak keluar-keluar lagi. Sementara itu, kami masih melihat-lihat pepohonan yang tumbuh dengan baik dan terawat dan salah satunya adalah pohon limau yang sedang berbuah sangat lebat. Kami petik limau lima setangkai dan tujuh setangkai seperti permintaan Tuan.”
”Lalu, bagaimana dengan ayam jagoku? Sungguh- sungguhkah apa yang kalian ceritakan padaku? Kalian tidak mengarang dongeng ’kan?”
Diam-diam Aji memasukkan kerisnya ke dalam sarung tempat kerisnya. Tiba-tiba jantungnya terasa berdebar-debar. Tubuhnya hangat karena darahnya bergolak. Selanjutnya, pelan-pelan ia bertanya kepada punakawannya.
”Apakah Putri yang kalian ceritakan itu memang tercantik dibandingkan dengan putri-putri cantik yang pernah kalian lihat?” pertanyaan Aji bertubi-tubi.
”Sungguh, Tuan. Menurut penglihatan kami Putri Karang Melenu itu lebih cantik daripada putri-putri Brunei dan Putri Kencana Ungu. Putri itu sama cantiknya dengan Putri Junjung Buih dari Banjar yang pernah patik lihat di dalam mimpi. Entah mengapa gerangan patik bermimpikan Putri Junjung Buih dari Banjar itu. Kedua putri itu sama ayunya, sama manisnya, sama cantiknya, tetapi ada daya pikat pada diri Putri Karang Melenu itu,” lanjutnya berpromosi.
”Jadi, menurut kalian keduanya sama persis?” tanya Aji.
”Menurut kami masih lebih cantik Putri Karang Melenu. Lenggang-lenggok Putri Karang Melenu bagaikan batang nyiur yang ditiup angin badai, sedangkan lenggang- lenggok Putri Junjung Buih dari Banjar itu bagaikan batang pohon pinang yang ditiup angin kencang,” tambah punakawan.
”Bagaimana cara pengucapan bunyi ’r’ sang Putri?” tanya Aji Batara Agung.
”Oh, iya. Jika menyuarakan ’r’, Putri Karang Melenu bisa menyuarakan dengan sempurna, sedangkan Putri Junjung Buih tidak dapat dengan sempurna menyuarakan ’r’ meskipun tidak mengurangi kemerduan suaranya,” jawab punakawan dengan jelas.
”Jika demikian, baiklah. Kita akan mencari Putri Karang Melenu, tetapi jika apa yang kalian katakan itu tidak benar, siap-siaplah kalian menerima hukumanku.”
Aji Batara Agung mandi membersihkan dirinya. Disuruhnya dayang-dayangnya membuat bedak dan beboreh untuk mengharumkan tubuhnya. Sesudah mandi, Aji mengenakan pakaian yang pantas sebagaimana seorang raja. Keris Buritkang disisipkannya di pinggangnya. Semakin tampan dan gagahlah Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Sejenak Aji merenung akan semua perkataan kedua punakawannya itu. Setelah berdandan dengan serapi- rapinya, berkatalah Aji kepada kedua punakawannya.
”Hai, kalian berdua berpeganglah masing-masing pada kakiku, seorang pada kaki kanan dan seorang lagi pada kakiku sebelah kiri!” Aji pun segera memejamkan kedua matanya dan kemudian menahan napasnya. Bagaikan kapas tubuh Aji melambung ke atas untuk kemudian terbang bagaikan burung elang disertai kedua punakawannya yang berpegang erat-erat pada kedua kakinya seperti layang- layang tersangkut pada dahan pohon.
Pada saat Aji Batara Agung melayang-layang di udara, saat itu pula Putri Karang Melenu sedang bertenun baju sambil mengunyah sirih dengan ditemani Babu Jaruma, ibundanya, dan para dayang yang sedang bermalas-malasan menanti perintah. Sambil bertenun, sang Putri bercerita kepada ibundanya, Babu Jaruma.
”Wahai, Bundaku, semalam aku bermimpi, jariku digigit tedung ari dan pinggangku dibelit tedung bulan. Apakah gerangan tabir mimpi itu, wahai, Bundaku sayang?”
”Tidak berapa lama lagi ada jejaka yang meminang Putri,” sahut bundanya.
Seketika itu tubuh sang Putri menggigil dan bangkitlah ia dari duduknya dan berkata kepada tempayan, ”Hai, tempayan, merekahlah engkau!” Tempayan pun merekahlah dan Putri pun segera masuk ke dalam tempayan itu.
Aji Batara Agung memasuki rumah sang Putri kemudian menghampiri Babu Jaruma sambil berkata,
”Hai, orang tua yang baik, janganlah takut kepadaku karena aku datang ke sini untuk mencari ayam jagoku yang telah masuk di kandang ayam pemilik rumah ini.”
”Tiada ayam Andika di sini!” jawab Babu Jaruma.
”Itu ayamku,” kata Aji. ”Aku kenal betul bunyi kokoknya
yang lantang dan menantang kepada ayam lain untuk berkelahi. Milik siapakah tempat sirih ini dan siapakah yang membuang sepah di tempat peludahan ini?”
”Kepunyaan bujangku,” sahut Babu Jaruma.
”Tidak mungkin, bentuk tempat sirih ini hanya untuk raja-raja bukan untuk bujang-bujang.”
”Kalau Andika tidak percaya, carilah sendiri orang yang memiliki tempat sirih ini!” kata Babu Jaruma sambil gemetaran.
”Baiklah, akan kucari,” sahut Aji.
Aji Batara Agung memejamkan mata, menghadapkan mata hatinya kepada Batara Syiwa meminta petunjuk dan memohon pertolongan untuk mendapatkan orang yang memiliki tempat sirih itu yang menurut dugaannya tiada lain adalah putri yang diceritakan oleh kedua punakawannya. Setelah selesai bersemadi, Aji pun membuka matanya dan melihat ke kanan, ke kiri, dan ke atas.
Terlihatlah olehnya tempayan besar di atas dan berkatalah hatinya bahwa apa yang dicarinya ada di dalam tempayan itu. Aji pun berkata, ”Hai, tempayan, terbukalah engkau!” Terbukalah tempayan dan Aji Batara Agung segera masuk ke dalamnya. Seketika itu keluarlah sang Putri dari tempayan dan masuklah sang Putri ke dalam tiang. Namun, Aji tidak berputus asa. Dia keluar dari tempayan dan mengejar sang Putri masuk ke dalam tiang. Putri melihat dibuntuti demikian, maka segera masuklah ia ke dalam bendul. Aji pun mengejar Putri masuk ke dalam bendul. Demikianlah kejar-mengejar itu terjadi dengan ramainya di dalam benda-benda padat. Aji Batara Agung mendukung Putri Karang Melenu dan membawa sang Putri naik ke ayunan sambil berayun bersama. Dibujuknya Putri dengan kata-kata yang manis dan dengan suara yang lembut.
”Engkaulah Putri idamanku,” kata Aji Batara Agung.
”Rupanya Engkau tedung ari yang menggigit jariku dalam mimpi,” kata Putri Karang Melenu di dalam hati sambil tersipu-sipu.
”Engkau adalah calon istriku yang selama ini kucari,” kata Aji sambil menggandeng tangan sang Putri.
Putri pun berkata, ”Hai, Aji, jika benar engkau hendak memperistrikan patik, sebaiknyalah Andika pulang dahulu ke negeri Andika kemudian barulah Andika, menyuruh orang tua Andika melamar kepada kedua orang tua patik.”
Betapa suka citanya Aji Batara Agung mendengar suara merdu Putri Karang Melenu yang tidak menolak lamarannya. Aji bersama kedua punakawannya berangkat kembali ke Jaitan Layar untuk lapor kepada orang tuanya, mengatur cara melamar, menentukan waktu untuk melamar, dan menentukan hari perkawinan yang baik.
Di Negeri Hulu Dusun telah berjejalan rakyat yang ingin melihat utusan dari Jaitan Layar. Beberapa saat kemudian rombongan pejalan kaki yang merupakan utusan Aji sampailah ke rumah Petinggi Hulu Dusun di Melanti. Penyambutan dilakukan dengan upacara adat raja-raja.
Beberapa petinggi beserta orang-orang besar dari negeri yang berdekatan juga diundang untuk menghadiri upacara perkawinan, seperti petinggi dari negeri Binalu, Sembaran, Penyuangan, Senawan, Sanga-Sangaan, Kembang, Sungai Samir, Dundang, Manggara, Sambuni, Tanah Merah, Susuran Dagang, Tanah Malang, Pulau Atas, Karang Asam, Karang Mumus, Mangkupalas, Loa Bakung, dan Sembuyutan. Para Dewata juga menyaksikan upacara perkawinan turunannya yang ada di dunia itu. Selain merestui, para Dewata juga bangga dengan perkawinan itu. Kedua suami istri baru itu, Aji Batara Agung dan Putri Karang Melenu hidup berkasih-kasihan, hormat- menghormati, dan indah-mengindahkan. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak yang sangat rupawan, yang diberi nama Paduka Nira. Untuk pengasuhan bayi itu didatangkanlah orang-orang terbaik dari negeri Sembaran dan Binalu sebagaimana adat dalam memelihara anak-anak raja.
BIODATA PENULIS
Nama : Wiwiek Dwi Astuti
Riwayat Pekerjaan
Tahun 1987 menjadi karyawan di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Riwayat Pendidikan
S-2 di Pascasarjana Prodi Pendidikan Bahasa di Universitas Negeri Jakarta pada tahun 2015.
Judul Buku dan Tahun Terbit :
- Wacana Hiburan dalam SMS Seru…!! (2009).
- “Kajian Keberterimaan Istilah Mabbim Bidang Farmasi dan Perubatan” (di muat dalam Seri Kajian Mabbim) Bandar Seri Bagawan, Dewan Bahasa dan Pustaka, Brunei (2011).
- Makalah yang disajikan di Forum Peneliti di Makasar “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa: Keberterimaannya di Lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional” (makalah dalam Forum Peneliti di Makasar, 2011).
- Wacana Iklan Niaga melalui Radio: Berbagai Jenis Pertaliannya (2013).
Informasi Lain
Lahir di Solo, Jawa Tengah pada tanggal 2 Januari 1959
BIODATA PENYUNTING
Nama : Wenny Oktavia
Riwayat Pekerjaan
Tenaga fungsional umum Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2001—sekarang)
Riwayat Pendidikan
-
- 1. S-1 Sarjana sastra dari Universitas Negeri Jember (1993-2001)
- 2. S-2 TESOL and FLT dari University of Canberra (2008-2009)
Informasi Lain
Lahir di Padang pada tanggal 7 Oktober 1974. Aktif dalam berbagai kegiatan dan aktivitas kebahasaan, di antaranya penyuntingan bahasa, penyuluhan bahasa, dan pengajaran Bahasa Indonesia bagi Orang Asing (BIPA). Ia telah menyunting naskah dinas di beberapa instansi seperti Mahkamah Konstitusi dan Kementerian Luar Negeri.